Jakarta (pilar.id) – Tren penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) semakin meluas di berbagai sektor, termasuk dunia kehumasan. Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menggarisbawahi perlunya praktisi kehumasan di Indonesia memanfaatkan potensi AI dalam aktivitas mereka.
Dalam acara Kunci Pembuka Indonesia Public Relations Summit 2023 dengan tema “Inovasi untuk Reputasi,” yang diselenggarakan di Jakarta Selatan pada Jumat (4/8/2023), Menteri Budi Arie Setiadi menyampaikan pandangannya.
Ia menjelaskan bahwa AI telah menjadi alat penting dalam menganalisis data dan mengidentifikasi tren dalam dunia kehumasan. Bahkan, AI juga telah digunakan untuk melacak dan mengukur dampak dari program-program hubungan masyarakat. Penggunaan bot otomatis telah diterapkan sebagai layanan 24 jam bagi pengguna.
Menteri Budi Arie mengungkapkan keyakinannya bahwa integrasi teknologi AI akan mempermudah para praktisi kehumasan dalam meningkatkan komunikasi dengan publik. Ia merujuk pada data dari Chartered Institute of Public Relations 2022 yang menunjukkan bahwa peluncuran ChatGPT telah menjadi pemicu bagi perkembangan AI di dunia hubungan masyarakat.
Budi Arie mencatat contoh konkret penggunaan AI dalam industri media dengan menyebutkan bahwa hampir sepertiga dari konten yang dihasilkan oleh Bloomberg News telah dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan atau robot jurnalis. Hal ini memungkinkan para jurnalis untuk lebih fokus pada konten yang berdasarkan riset, data, dan aspek humanistik yang kuat.
Menteri Kominfo juga menggarisbawahi transformasi yang telah terjadi dalam dunia kehumasan, di mana praktisi PR telah beradaptasi dengan berbagai platform digital seperti situs web, aplikasi online, YouTube, media sosial seperti Facebook, LinkedIn, Instagram, blog, dan podcast. Dalam pandangannya, media-media ini telah mengubah peran PR menjadi pilar komunikasi yang mengedepankan kreativitas dan inovasi dalam menyampaikan informasi kepada publik.
Meski begitu, Menteri Budi Arie menegaskan bahwa praktisi kehumasan harus tetap mempertahankan kendali dan kewaspadaan dalam memanfaatkan teknologi. Ia mengingatkan tentang dampak negatif dari digitalisasi, seperti polarisasi opini, penipuan, dan penyebaran informasi yang tidak akurat melalui media digital.
Contoh nyata dari situasi ini terjadi saat pandemi Covid-19, di mana selain melawan wabah penyakit, masyarakat juga harus menghadapi tantangan informasi yang tidak valid. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Direktur Jenderal WHO, “Kita tidak hanya melawan epidemi, tetapi juga melawan ‘infodemi’.” Reputasi dan citra lembaga, baik publik maupun privat, menjadi taruhan dalam menghadapi tantangan ini.
Menteri Kominfo menyimpulkan dengan keyakinan bahwa penanganan krisis ini bukanlah tugas yang hanya bisa diemban oleh pemerintah saja, melainkan merupakan tanggung jawab bersama dari semua pihak di berbagai sektor untuk menjaga integritas informasi dan reputasi. (mad/hdl)