Jakarta (pilar.id) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewacanakan kemungkinan pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup. Padahal, sejak 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan kepastian hukum dengan menetapkan pemilu menggunakan sistem pemilihan proporsional terbuka.
Untuk diketahui, saat ini terdapat dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara tengah mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Para pemohon dalam pokok perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 mendalilkan
Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan Sururudin selaku kuasa hukum dalam sidang perdana perkara tersebut pada Rabu (23/11/2022).
Menanggapi hal itu, partai politik ramai-ramai melakukan penolakan. Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) misalnya, mengkritisi wacana dan pengusulan agar pemilu legislatif kembali diselenggarakan dengan sistem proporsional tertutup. Ia juga mengingatkan agar tidak ada pengabaian prinsip kedaulatan rakyat yang dengan jelas dan tegas termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, hal itu sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya.
Menurutnya, sistem proporsional tertutup artinya pemilu hanya dilaksanakan untuk memilih partai politik peserta Pemilu. Jika sistem tersebut diterapkan, maka rakyat hanya akan memilih ‘kucing dalam karung’, karena tidak bisa memilih nama calon anggota legislatif yang dikenal atau dikehendaki untuk mewakilinya di lembaga parlemen tingkat nasional maupun daerah.
“Karena dengan sistem pemilu tertutup itu, penentuan caleg yang terpilih untuk menjadi anggota legislatif diserahkan kepada partai politik, yang sebagiannya belum melakukan transparansi dan kaderisasi yang baik untuk menghadirkan kader-kader partai yang berkualitas,” kata dia.
Karena itu, HNW meminta agar MK menolak permohonan judicial review untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup. Selain tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur oleh UUD NRI 1945, juga agar MK konsisten dengan putusan yang sebelumnya dibuat oleh lembaga tersebut.
“Sesuai ketentuan konstitusi, rakyat diberi hak bebas memilih nama-nama caleg untuk menjadi wakilnya di pParlemen, atau memilih (gambar) partai yang oleh konstitusi memang dinyatakan sebagai peserta pemilu,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menilai, ada upaya kesengajaan dari partai tertentu untuk mendorong Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari membantunya berkuasa dan melanggengkan kekuasaannya, serta tidak ingin ada tradisi berpikir demokratis dalam setiap Pemilu. Menurut Fahri, jika pencoblosan dengan nama partai, maka ada ketergantungan dalam penentuan nama pejabat publik oleh partai.
“Itu artinya, kita sudah masuk era politik partai komunis, yang ingin menguasai dan mengontrol seluruh pejabat publik, khususnya anggota legislatif,” kata Fahri.(ach/hdl)