Jakarta (pilar.id) – Ahli Etika Filsafat Moral Romo Frans Magnis Suseno mengatakan, membunuh orang yang sudah lemah memang sangat tidak dibenarkan secara etis. Namun, terdapat beberapa kondisi hal itu dapat dianggap benar.
“Satu perkecualian, misalnya algojo dalam menjalankan hukuman mati sesuai dengan undang undang yang berlaku,” kata Romo, dalam persidangan Bharada E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu, di Jakarta, Senin (26/12/2022).
Kemudian, kombatan yang diperbolehkan menembak sampai meninggal, dan kondisi berikutnya hanya untuk membela nyawa sendiri maupun nyawa orang lain. “Kecuali dalam tiga kondisi ini, secara etis jelas, menembak mati orang adalah pelanggaran berat,” kata Romo.
Romo juga menyampaikan, tidak ada kewajiban untuk menaati perintah yang sudah sangat jelas melanggar etika moral. “Malah perintah yang tidak etis, wajib ditolak,” kata dia.
Lalu bagaimana dengan Eliezer yang diduga melakukan pembunuhan terhadap Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, tetapi atas perintah atasan?
Menurut Romo, para filosof bersepakat orang tersebut harus dipertanyakan kualitas moralnya. Hal itu tergantung pada kesadaraan orang tersebut pada saat melakukan eksekusi.
“Tergantung dari suara hati. Suara hati mengatakan apa pada saat itu. Bisa saja, dia bingung karena dia berhadapan dengan dua norma. Yang satu mengatakan, menembak orang tidak dibenarkan. Yang kedua, dia diberi perintah oleh orang yang berhak memberi perintah,” jelas dia.
Ketika dihadapkan pada situasi tersebut, lanjut Romo, menurut etika normatif dia harus menolak perintah tersebut. Akan tetapi, dalam menentukan kebersalahan seseorang apakah orang tersebut menyesal atau tidak. Menurut Romo, perintah untuk membunuh seseorang bukan hanya soal menaati atasan tetapi juga memberi tekanan psikologis karena menggunakan kata ‘sekarang’.
“Dalam budaya perintah ‘laksanakan’, berhadapan dengan atasan yang sangat tinggi mungkin ditakuti, kebebasan hati untuk masih mempertimbangkan dalam waktu beberapa detik tersedia, mungkin tidak ada,” kata Romo.
Dalam budaya perintah terutama di militer Indonesia, menurut Romo, tidak dibutuhkan waktu lama untuk bersedia melakukannya. Karena itu, menurut Romo, budaya perintah tersebut juga dapat menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara ini.
“Meskipun dia ragu-ragu, dia bingung itu tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada kesalahan, tetapi itu jelas menurut etika sangat mengurangi kebersalahan,” kata Romo. (ach/din)