Jakarta (pilar.id) – Riuh ibu kota Jakarta seolah tenggelam saat kita masuk dalam gang menuju Masjid Jami At Taqwa, Sunter Agung di pagi hari.
Maklum, begitu melangkahkan kaki di tempat ini, mata kita langsung dimanjakan dengan hijau tanaman yang tumbuh di sisi kiri dan kanan jalan. Di tempat ini pula, suara bising aktivitas Jakarta seolah tenggelam dalam suasana yang asri dan syahdu.
Ya, kawasan di sisi utara Jakarta ini, tepatnya di RW 05 Sunter Agung, masjid tiga lantai ini berdiri. Tak ada yang istimewa, meski aura yang tercipta sungguh berbeda sejak kaki mendekat.
Sampai saat lantai demi lantai ditapaki, kita akan bertemu ‘pintu ajaib’ yang mengantar kita menuju ‘Taman Babilonia’. Di situlah pengunjung bakal disambut birunya awan, hembusan angin segar, dan hamparan tanaman hijau.
Di rooftop, nampak seorang pria dengan caping tengah berkutat dengan tanaman kecil yang tersusun rapi dalam sebuah bak media hidroponik. Ia merupakan salah satu pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) yang juga mengkoordinir kegiatan pertanian kota (urban farming) di atap masjid, pria ini adalah Supriyono.
Tangannya sibuk menyiapkan pupuk cair untuk sayuran yang ditanam secara hidroponik, ia menjelaskan awal mula tercetusnya gagasan menyulap area atap masjid menjadi lokasi bertanam sayuran.
Lalu dari dia kita mendapat cerita, bahwa sejak pandemi tiba, ia harus bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Dalam perjalanannya, ia pun berkenalan dengan gagasan urban farming.
Katanya, ia melihat ada potensi yang dapat dimanfaatkan dari atap masjid yang semula menjadi lokasi penyimpanan sejumlah barang. Dari situ ia pun tergerak menyosialisasikan gagasan ini pada warga setempat, yakni untuk mengoptimalkan lahan yang ada di lingkungan sekitar tempat dia tinggal.
Supriono, awalnya, secara swadaya ia bergabung dalam sebuah pelatihan terkait pemupukan guna memperdalam pengetahuan dalam bercocok tanam dengan metode hidroponik.
Menurutnya, pemupukan dalam hidroponik menjadi hal yang sangat penting, sebab apabila takaran pupuk tidak pas maka tanaman yang dihasilkan tidak bagus kualitasnya.
“Karena hal ini lebih vital kalau menanam secara hidroponik, sangat tergantung dengan nutrisi,” jelasnya.
Awalnya, urban farming di atap masjid ini bermodalkan empat bak saja, namun seiring berjalannya waktu terdapat tambahan sekitar 20 bak hasil pemberian dari program tanggung jawab sosial lingkungan sebuah perusahaan perbankan milik negara.
Dalam prosesnya, urban farming di atap masjid ini selain dibutuhkan kerja sama antar tim yang bertugas diperlukan ketekunan serta sentuhan tangan-tangan telaten agar proses awal penanaman hingga panen berjalan baik dan sesuai jadwal yang telah yang ditentukan. Tanpa adanya campur tangan serta kekompakan warga sekitar juga DKM, penanaman di atap masjid ini tentu tak dapat berjalan dengan lancar hingga saat ini.
Supriyono beserta tiga orang lainnya, bersama-sama terkadang bergantian pada pagi dan sore merawat serta “mengasuh” tanaman-tanaman seperti kangkung, caisim, bayam hingga cabai.
Salah satu anggota tim yang bertugas, Bagiyo mengatakan dirinya berusaha agar setiap hari dapat datang ke rooftop ini meski memiliki kesibukan lain. “Kalau pagi nggak bisa, ya sorenya datang. Pokoknya diusahakan setiap hari datang,” ujar Bagiyo
Setelah dipanen, sayur-sayur ini disuplai ke sebuah perusahaan yang nantinya akan disetor ke supermarket. Tentunya dengan syarat yang telah ditentukan seperti panjang sayur, akar harus bersih dan bebas dari hama atau daun berlubang.
Sehingga sayur hasil panen yang bakal dikirim benar-benar diseleksi dengan teliti agar lolos pengecekan kualitas oleh perusahaan penyalur distribusi yang bermuara di supermarket. “Ada lobang aja nggak mau, lubang kuning nggak mau. seleksi awal ketat,” kata Supriyono.
Hasil penjualan ini selain dijadikan pemasukan ke masjid, juga dimanfaatkan untuk konsumsi warga sekitar. “Tidak semuanya dijual atau disuplai ke perusahaan. Jadi ada beberapa persen untuk warga konsumsi,” jelas Supriyono
Meski kelihatannya cukup untuk memenuhi permintaan pasar, kebun di masjid ini rupanya masih keteteran mencukupi permintaan sayur yang sekali panen ditargetkan sekitar 80 kilogram lebih oleh perusahaan distributor.
Sekali panen, kebun ini terkadang hanya mampu memenuhi kuota sebesar 60-an kilogram, untuk sisa kuotanya tim mengakalinya melalui kerja sama dengan berbagai komunitas hidroponik di wilayah DKI Jakarta. “Jadi ya saling membantu saja, kalau ada yang kurang kami mencukupi dan sebaliknya,” tutur Pri.
Sayuran dan buah yang ditanam di taman rooftop ini tak melulu hanya kangkung, caisim atau sawi, cabai serta bayam. Melainkan terdapat tanaman lain seperti anggur hijau, buah tin, jeruk nagami serta jenis terbaru adalah bayam Brazil.
Meski belum ditanam secara masif seperti tanaman utama, sejumlah tanaman tersebut di atas turut meramaikan taman eden di masjid ini.
Manfaat hasil urban farming pun dirasakan oleh salah seorang tim yang juga membantu urban farming di masjid ini. Disela-sela aktivitas membersihkan benih dari media tanam sekam, Indarjo, menjelaskan selain mendapatkan ilmu yang bermanfaat ia juga akui terbantu secara finansial.
“Sangat terbantu sekali dengan program ini,” kata Indarjo. Tak hanya itu, tanaman tersebut turut dirasa manfaatnya terutama untuk ibu-ibu.
Tanaman cabai misalnya, saat harga cabai melonjak seperti saat ini, ibu-ibu PKK yang turut serta membantu bercocok tanam pun seringkali memetik cabai dari sini. Tentu hal ini membuat ibu-ibu sekitar terbantu sebab dapat menghemat anggaran belanja.
Tidak sampai di situ, burung-burung seakan tak mau ketinggalan menyantap hasil panen di lokasi ini. “Ini buah (tin) kemarin ada yang matang, tapi belum sempat dipetik sudah duluan dimakan burung,” kelakar Supriyono
Pun dengan cabai, burung tak mau ketinggalan berebut dengan ibu-ibu. Sejumlah cabai terlihat telah tergerogoti separuhnya, pertanda burung juga gemar menyantap tanaman rasa pedas ini.
Kerja keras tim pengurus urban farming di rooftop ini seakan mulai terbayar, selain semakin dikenal urban farming di atap masjid ini nyatanya telah mendapatkan apresiasi yang bagus dari berbagai instansi pemerintahan yang seringkali menjadikan lokasi ini sebagai venue berbagai kegiatan.
Terbaru, kawasan ini bakal mengikuti Program Kampung Iklim (ProKlim), yang merupakan program pengurangan emisi gas rumah kaca yang dipelopori Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Supriyono berharap ke depannya warga perkotaan pada umumnya dapat mengadaptasi metode pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam, sebab selain hasil yang dapat dimanfaatkan untuk konsumsi bercocok tanam turut bermanfaat bagi lingkungan sekitar. (hdl/ant)