Jakarta (pilar.id) – Tahun baru memang selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Baik itu tahun baru Masehi, tahun baru Hijriah, maupun tahun baru Imlek. Setiap momen pergantian tahun ini selalu dinikmati dengan berbagai perayaan dan ritual-ritual tertentu.
1 Februari tahun 2022 ini, bertepatan dengan perayaan tahun baru Imlek. Semua warga tionghoa merayakan tahun beru tersebut. Termasuk mereka yang ada di Indonesia.
Perayaan Imlek bisa kita lihat hampir di setiap kota di Indonesia termasuk Jakarta. Warga keturunan Tionghoa memadati kelenteng dan vihara untuk mengikuti berbagai rangkaian ritual dalam ajaran “Konfusius” atau Konghucu itu.
Hampir semua pejabat negara dan daerah pun turut memeriahkan perayaan Imlek, seperti Menteri BUMN Erick Thohir dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengunjungi kelenteng dan vihara di Jakarta.
Kedua pejabat itu menyerukan penghargaan pada keragaman dan persatuan yang harus dipelihara antara sesama anak bangsa.
“Karunia Tuhan dalam bentuk keberagaman ini dijaga dengan semangat persatuan. Karena itu yang kita rayakan hari ini adalah perayaan persatuan, dan kebersamaan,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam kunjungannya di Kelenteng Hian Thian Siang Tee Bio di Jalan Palmerah Selatan, Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (1/2/2022).
Perayaan Kaum Tani
Imlek yang bukan hanya dirayakan oleh warga keturunan Tionghoa, namun juga disambut masyarakat sekitar kelenteng atau vihara lokasi perayaan Imlek yang bisa menjadi salah satu potret semangat persatuan.
Semangat persatuan tersebut memang menjadi landasan dari perayaan Imlek sendiri yang menurut sejarawan China telah dimulai sejak ribuan tahun lalu. Meski belum ada keterangan pasati mengenai kapan pertama kali perayaan ini dilaksanakan.
Menurut Novi Wahyudi, penulis Indonesia yang belajar di China selama 10 tahun, menyatakan bahwa meski sulit pastikan namun, ada dokumen yang bisa dijadikan rujukan. Mayoritas sejarawan China sepakat bahwa apa yang ditulis dalam kitab Shang Shu (dokumentasi sejarah) yang merupakan salah satu dari lima kitab klasika penting dalam ajaran Konghucu, bisa dijadikan patokan.
“Pada hari pertama bulan pertama, Kaisar Shun [yang berkuasa pada sekitar 2184 SM] menyekar ke makam leluhurnya, melakukan blusukan ke daerah-daerah dan berkata: ‘Untuk menyelesaikan permasalahan pangan, harus benar-benar diperhatikan kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam. Ayomilah rakyat pinggiran sebagaimana engkau mengayomi orang-orang di dekatmu. Angkatlah pejabat yang berbudi luhur. Singkirkanlah pejabat yang licik (Yue zheng yuan ri, Shun ge yu fen zu, xun yu si yue … Yue: ‘Shi zai, wei shi. Rou yuan neng er. Dun de yun yuan. Er nan ren ren),” tulis Novi mengutip Shang Shu.
Novi juga menulis, klasika ajaran Konghucu lainnya, yakni Li Ji (Catatan Kesusilaan) yang juga mencatat kejadian serupa dengan menggambarkan perayaan yang dilakukan di awal musim semi tersebut.
“Pada awal musim semi, kaisar membawa serta menteri-menterinya menyambut kedatangan awal musim semi. Pada bulan itu, di hari pertamanya, kaisar berdoa kepada Tuhan agar negerinya diberi keberlimpahan pangan (Li chun zhi ri, tianzi qin shuai san gong, jiu qin, zhu hou, da fu, yi ying chun … Shi yue ye, tianzi nai yi yuan ri qi gu yu Shangdi),” tulis Novi mengutip Li Ji.
Berdasarkan rekaman kejadian yang dicatat dari dua kitab Klasika Konghucu tersebut, Novi menyebut bahwa dapat dikatakan perayaan tahun baru Imlek merupakan hari raya kaum tani dengan mengacu pada kondisi China merupakan negara agraris di masa itu.
Bahkan sejumlah catatan yang menyebutkan tahun baru Imlek sudah biasa digelar sejak ribuan warsa sebelum kelahiran Khonghucu ke dunia dia menilai hal tersebut menggambarkan persatuan karena dirayakan berbagai kalangan dan bukan monopoli pengikut ajaran agama tertentu.
“Dengan demikian barangkali bisa dibilang, hari raya Imlek bukanlah monopoli pemeluk agama Khonghucu semata, melainkan seluruh masyarakat China, terlepas apa pun agama yang kini diimani ataupun tidak diimani mereka,” tulis Novi dalam kesimpulan tulisannya. (lin/tra)