Surabaya (pilar.id) – Berawal dari melihat sebuah ekskul yang sering mengikuti perlombaan, Anak Agung Gusti Pujiantara Sangadatu Wiharto, atau biasa disebut Ujik, tergerak untuk mengikuti ekskul menari yang identik dengan perempuan, sedang dirinya laki-laki.
Atas perbedaan gender itulah, Ujik, yang saat itu masih di duduk di sekolah dasar (SD), sempat mempertimbangkan keinginannya untuk ikut bergabung.
“Saat itu saya sering mengintip mereka menari di kelas. Saya mau ikut, tetapi takut dibully, karena semua anggotanya perempuan. Kurang lebih dua minggu saya tahan keinginan itu. Akhirnya aku berani datang ke pelatihnya, dia bilang tidak masalah dan tak akan dibuli yang penting niat dan seminggu kemudian saya ikut tari,” kenang penari laki-laki 23 tahun ini.
Ujik pun bercerita, bagaimana ia ikut latihan tari di awal. Hingga seminggu kemudian, ia mengikuti lomba tari di Taman Hiburan Remaja (THR) dan mendapat juara pertama.
“Lomba pertama kali langsung juara satu, saya senengnya minta ampun. Mereka tidak ada yang membuliku. Ketakutanku kemarin tidak benar,” kenangnya.
Tak berhenti di SD, Ujik makin merasa nyaman dengan dunia tari. Ia terus menari di sekolah menengah pertama, hingga kuliah di jurusan Sendratasik di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) dan lulus 2021 lalu.
“Setelah dari SMP, saya lanjut sekolah di SMKN 12 Surabaya, ambil jurusan tari. Sebelumnya saya ingin SMA biasa, tetapi takdir membawa ke tari lagi. Bagi saya, menari sudah sangat lengket dengan diriku, sudah seperti jati diri,” tegasnya.
Menekuni menjadi penari laki-laki yang gemulai, memang tak mudah bagi Ujik. Apalagi bagi orang tuanya. Terlebih bagi ibunya yang menganggap pekerjaan tersebut tidak ada masa depannya, dan menyarankan ia menggeluti hal lain yang bagi ibunya ada masa depan.
Namun Ujik yang menyadari hal itu, berusaha meyakinkan ibunya terhadap keputusan dirinya menekuni profesi tersebut.
“Aku jawab, sudah dijalani saja ma, kalau memang aku berjodoh dengan tari akan ada rejeki yang menyelimutiku, tetapi kalau memang tidak berjodoh dengan tari. Maka suatu saat aku akan berpisah dengan tari. Dari situ sudah direstui, ayahku juga boleh, boleh saja,” cerita Ujik pada pilar.id.
Dalam menjalani dunia tari, Ujik mengaku harus berhadapan dengan banyak hal, baik suka maupun duka. Seperti dalam memilih penari, ia kerap dituding memilih penari yang itu-itu saja.
“Saya menanggapi hal itu biasa di dunia seni. Sukanya bayaran yang didapat sesuai dengan ekspetasi dan sering mendapat souvenir, datang ke acara-acara penting. Seperti ke depan, saya akan tampil saat Hari Ulang Tahun Sumatra Barat, namun itu masih rencana,” paparnya.
Ujik yang tak hanya pandai menari tradisional, namun juga lihai menari modern ataupun kontemporer ini, bercerita mengenai pengalaman berkesannya selama menjadi penari, yaitu ketika dirinya harus membawakan tarian Bali di tengah kota Belgia saat musim salju di bulan Desember tahun 2015.
“Aku menari tanpa jaket dan hanya menggunakan kostum tari yang tembus pandang, saya kuat-kuatin, untung durasinya hanya 1 menit, tetapi itu pengalaman berharga bagi saya,” ucap Ujik
Kini, Ujik yang tengah disibukkan menjadi pelatih di sanggar menarinya bernama Gongprada yang berlokasi di Wiyung, Surabaya ini. Berpesan kepada penari laki-laki ataupun laki-laki yang feminim, agar tak malu menunjukkan jati dirinya dan tak berpura-pura, karena menjalani hidup seperti itu menurutnya tak akan nyaman.
“Saya sendiri tidak pernah menutupi jati diri saya, saya tetap laki-laki, tetapi saya lebih nyaman berpenampilan feminim. Walaupun saya dipertanyakan, dibully, saya tidak peduli. Inilah saya, dengan jati diri saya yang sekarang,” tutup Ujik. (jel/hdl)