Jakarta (pilar.id) – Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Ngatawi Al-Zastrow mengatakan, saat ini Indonesia tidak hanya butuh vaksin Covid-19 saja. Menurutnya, Indonesia juga butuh vaksin kultural dan ideologis untuk menangkal bibit-bibit radikalisme.
“Kalau ditangani dengan operasi militer malah senang dia, karena kesempatan masuk surga secara cepat,” kata Al Zastrow kepada Pilar.id, di Jakarta, Senin (15/8/2022).
Mantan juru bicara mendiang Presiden Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid itu menjelaskan, ketika seseorang memiliki vaksin kultural dan ideologi akan memiliki imunitas. Sehingga, ketika orang tersebut sudah memiliki imunitas kultural dan ideologis tidak mudah hanyut dalam arus budaya lain.
“Tapi bisa surfing, dia tidak menolak, menerima, tapi dia tidak hilang, tidak hanyut,” kata Al Zastrow.
Lalu apa bentuknya vaksin tersebut?
Al Zastrow menjelaskan, vaksin tersebut berbentuk sebuah kesadaran terhadap nilai-nilai atau historisitas diri dan bangsanya. Karena dengan memiliki kesadaran historis, seseorang akan memiliki referensi hidup.
Ia mencontohkan, pada zaman dulu, banyak kyai belajar di Timur Tengah dan bertemu dengan budaya serta ideologi Islam ala Arab. Namun, mereka tidak lantas menjadi orang Arab atau berideologi Islam kearab-araban.
“Tapi tetap pula menerima nilai-nilai Islam dikonstruksi ulang jadi nilai-nilai yang khas keindonesiaan. Demikian juga yang belajar ke Eropa, mereka bertemu dengan budaya barat, dia tidak jadi orang Belanda, malah jadi orang Indonesia dengan gerakan nasionalisme yang cukup tinggi,” papar Al Zastrow.
Ia juga mengomentari kinerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam menangani radikalisme di Indonesia. Menurut Al Zastrow secara kelembagan sudah bekerja dengan baik, namun perlu ditambah dari segi strategi dan fungsinya.
“Karena kita ini sudah banyak lembaga, dan hampir kementerian/lembaga di negeri ini juga melakukan kerja-kerja deradikalisasi tentunya di bawah orkestrasi yang dipimpin BNPT,” kata dia.
Menurut Al Zastrow BNPT perlu menerapkan vaksin kultural dan ideologis. Sedangkan pendekatan yuridis, litigasi, dan militer tetap dilakukan pada kasus-kasus tertentu saja. “Tetapi pada daily life, pendekatan kultural menjadi sangat penting dilakukan,” kata dia. (Akh/din)