Jakarta (pilar.id) – Masa remaja adalah momen terbaik bagi seseorang untuk unjuk gigi. Saat energi dan semangat berlipat, usia remaja yang berpikir lebih terbuka suka blak-blakan saat menyampaikan sesuatu, termasuk melontarkan kritik khususnya untuk orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikirannya.
Bagi orangtua yang memiliki anak seperti ini, jangan buru-buru bangga. Bisa jadi, itu adalah tanda-tanda kalau si remaja sedang terpapar paham radikalisme.
Seperti dikatakan Psikolog Arijani Lasmawati, proses radikalisasi berujung teror itu bukan sebuah proses yang sebentar tapi proses yang sangat panjang.
Dalam penelitian remaja yang terpapar radikalisasi, ada tahapan pre-radikalsm. Ini membuat semua orang yang terkena terpaan berita di media sosial akan terkena paham radikal akibat munculnya berita berulang.
Munculnya keinginan untuk eksistensi di masyarakat mendorong anak remaja terpapar paham radikalisme. “Salah satu tanda munculnya adalah suka mengkritisi aturan baik di rumah maupun di negara,” kata Arijani, Rabu (3/8/2022).
Para remaja tersebut, kata dia, sedang menguji pemikirannya di luar agar bisa diakui dalam tataran lebih luas. Hal itu kalau dilihat menjadi sangat rentan bagi ideologi radikal untuk masuk.
Jika ini dibiarkan, maka akan memunculkan generasi kemartiran yang mereka bisa bergerak sendiri karena panggilan dalam hati dan tanpa jaringan. Sadar tidak sadar, agen ini mengonstruksi ekslusivitas agar generasi muda memiliki cara berpikir seperti itu dengan membeda-bedakan agama.
Okeh sebab itu, formula paling tepat adalah ketika membentuk perisai benteng ancaman radikalsime yang berawal dari ketidakmampuan permasalahan keberagaman.
“Perilaku inklusif harus melibatkan kita semua terutama dalam menggalakan kegiatan positif ke depannya,” tutupnya. (her/hdl)