Semarag (pilar.id) – Sebuah tradisi leluhur saat Imlek di Kota Semarang yakni jamuan makan bersama semua etnis dinamakan Tok Panjang.
Tok Panjang saat Imlek di kota Semarang bisa jadi cerminan merawat tradisi guyub antar etnis, ada Jawa Tionghoa dan Arab, komunitas besar di ibu kota Jawa Tengah.
Tok Panjang merupakan istilah kuno dalam tradisi masyarakat Tionghoa, yakni makam besar jamuan saat Imlek di keluarga.
Mereka akan mengundang semua kerabat untuk berbagi kebahagiaan dengan sajian jamuan makan yang lezat.
Kata Tok diartikan yakni sebuah meja, dan kata Panjang diartikan sebuah meja yang panjang.
Sebagai tempat menjamu para tamu untuk menikmati hidangan saat Imlek tiba.
Para etnis Tionghoa di Semarang mengadopsinya dalam jamuan Tok Panjang saat Imlek tiba, dengan mengundangnya semua saudara etnis lainnya seperti Jawa dan Arab.
Diketahui jika etnis yakni Jawa, Tionghoa dan Arab adalah tiga komunitas besar pembentuk budaya dan sosial di Kota Semarang yang menyatu.
Tiga akulturasi etnis tersebut terejawantah dalam simbol sebuah hewan mitologi Warak Ngendog sebagai ikon kerukunan di Kota Semarang.
Hewan mitologi Warak Ngendog terdiri dari bagian atas berupa kepala naga, bagian tubuh (tengah) berupa kambing, dan bagian bawah berupa kaki onta.
Di era modern, saat ini jamuan Tok Panjang dihadiri oleh siapa saja yang berkenan. Biasanya etnis Tionghoa akan mengundang para pejabat pemerintah pusat, Jateng, dan Semarang.
Sajian Tok Panjang biasa digelar di kawasan Pecinan Kota Semarang, sebuah meja panjang akan menutup semua jalan di Pecinan.
Meja dan hidangan makanan tersaji dengan rapi dan semuanya sama aneka jenis makanan. Makanan pun dijamin halal.
Semua masyarakat berbaur mulai dari pejabat walikota, pemuka agama, masyarakat, sampai wisatawan luar Semarang dipersilahkan turut menikmati.
Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Wisata (Kopisemawis), Harjanto Halim mengatakan Tok Panjang merupakan tradisi menjamu para tamu dari segala etnis dan komunitas.
“Imlek itu intinya mempertemukan saudara yang terpisah. Jamuan Tok Panjang adalah upaya merawat kebersamaan dan kesejahteraan,” kata Harjanto, baru baru ini.
Jaman dahulu, kata Harjanto, jamuan malam saat Imlek ada di meja bundar, karena selalu berkembang sanak keluarga maka ditempatkan pada meja dinamai meja Tok Panjang.
“Jadi mempertemukan kembali, silaturahmi bertemu di Tok Panjang, ini perekat semua anak bangsa,” katanya.
Sajian hidangan juga tak sembarangan, semua makanan serba memiliki makna filosofi layaknya dalam budaya Tionghoa. Makanan itu dihidangkan pada meja sepanjang 200 meter.
Untuk menu makanan, sajian Tok Panjang biasanya juga mengadopsi masakan Chinese dengan filosofi yang mendalam.
Biasanya ada hidangan pembuka yaitu teh serbat yang merupakan teh dengan 2 butir serbat bercampur 20 herbal lokal dan China.
Kemudian ada brokoli udang, sup lobak dan ikan patin.
“Makan sup lobak memberi keberuntungan sepanjang tahun, kuah akan menghangatkan hubungan persaudaraan,” katanya.
Sampai pada hidangan utama yakni biasanya ada sajian menu nasi warna biru dinamai nasi ulam bunga telang.
Bunga telang merupakan tanaman jenis polong-polongan, sohor dipakai oleh masyarakat beberapa negara di Asia Tenggara.
Bunga telang dalam perayaan Imlek maupun dalam membuat campuran bahan makan dan kue secara organik.
“Kalau di Thailand dibuat minuman segar, di Indonesia buat ketan biru. Bisa juga sebagai tanaman hias karena bunga itu berwarna biru terang,” katanya.
Kata Harjanto, nasi ulam bunga telang sebenarnya asimilasi peranakan Malaysia dan Singapura.
Nasi ini disajikan dengan wadah tampah dan dikelilingi srundeng, kucai, telur, gereh, sambal goreng kentang, mint, suwiran daging ayam, bercampur rempah.
Campuran itu kemudian diaduk dengan tangan dan dimakan bersama.
Satu tampah bisa dinikmati oleh 4 orang. Sebagai simbol perbedaan dalam keragaman, keceriaan, dan suka cita.
“Nasi warna biru, tak harus nasi itu putih, tak semua suku sama, ada campuran bahan makanan lainnya dan rempah menjadi satu, inilah indah perbedaan,” katanya.
Sebagai hidangan penutup, biasanya dihidangkan dengan cincau sirup mapel dan kopi alam. Hidangan itu merefleksikan sebuah rasa santai dan keakraban.
“Wong (orang) Semarang membuktikan melalui sikap dan perilaku bahwa keberagaman keniscayaan dan rahmat Allah yang tak dipungkiri,” katanya. (Aam)