Surabaya (pilar.id) – Tak berhenti mengikuti perkembangan teknologi dalam menciptakan sebuah inovasi dan karya, Universitas Kristen Petra melalui program studi Textile and Fashion Design mengenalkan software CLO3D pada mahasiswanya.
Perkenalan software ini dilakukan lewat mata kuliah Digital Fashion. Seperti disampaikan Luri Renaningtyas, dosen penanggung jawab mata kuliah ini, jika mahasiswanya yang ada di semester 3 ditugaskan membuat desain baju bertema Resort Wear.
Setelah proses pengerjaan selesai, mahasiswa juga diminta melakukan kegiatan promosi dengan menggunakan software CLO3D.
“Di tugas ini mahasiswa akan mempromosikan baju desainnya dalam bentuk foto fashion melalui software CLO3D, dengan cara menempelkan virtual garmen (3D) ke foto fashion, ke pose tubuh avatar CLO3D, yang sebelumnya telah dimodifikasi sesuai pose foto modelnya, kemudian membuat simulasi 3D garmen yang di draping ke pose avatar. Selanjutnya, 3D garmendi tadi di compose dengan photoshop,” jelas Luri, saat mendemonstrasikan software CLO3D di depan wartawan di Laboratorium Fashion, UK Petra, Jumat (3/2/2023)
Adanya penugasan untuk mengenal dan mengerti software CLO3D tersebut, Luri menilai sangatlah penting. Karena mahasiswa atau desainer tak perlu lagi membuat sampelnya secara fisik, yang biasanya akan membuang-buang bahan.
Selian itu para mahasiswa juga tidak ribet untuk mencocokan warna, bahan kain, ukuran dan lainnya. Kata Luri, mereka tinggal memanfaatkan tools yang ada dalam software.
” Semuanya bisa dilakukan melalui software ini, jadi lebih efisien. Apalagi penggunaan 3D Prototyping yang dibuat di CLO3D bisa terlihat realistik seolah-olah ada model memakai baju fisik sungguhan,” ucap Luri.
Clarita Angela, salah satu mahasiswa yang mengampu mata kuliah Digital Fashion di UK Petra mengaku, penggunaan software ini gampang-gampang susah.
Gampang karean software CLO3D menyodorkan banyak keleluasaan. Susah karena banyak tools yang harus dipelajari
“Toolsnya banyak. Serta menyesuaikan perbedaan pola jahitan secara manual dan digital, karena kalau manual biasanya dijahit agak longgar, tetapi digital, jahitnya harus rapat, lalu belajar fabric di digital, terkadang beda saat diaplikasikan ke nyata,” ujarnya.
Meski begitu, pengenalan software yang mulai booming mengiringi trend metaverse ini relatif bisa menjawab tantangan dalam industri mode yang perubahannya sangat cepat. Dengan demikian tiap mahasiswa bisa mempersiapkan diri di masa depan.
“Selain itu, mahasiswa juga dapat menjual 3D garment baju desin mereka sebagai NFT (Non-Fungible Token) di Metaverse bersamaan dengan physical twinnya jika mahasiswa juga memproduksi sample fisiknya,” tutup Luri. (jel/hdl)