Jakarta (pilar.id) – Pandemi Covid-19 sudah mulai mereda dan berlalu. Namun, tantangan global masih terus mengancam kondisi prekonomian Indonesia. Termasuk di sektor ekonomi pangan.
Untuk itu, penting adanya transformasi sistem pangan di Indonesia yang lebih inovatif dan mampu menjaga rantai pasok. Utamanya, agar terbentuk ekosistem ekonomi pangan yang tahan terhadap guncangan resesi sekaligus perubahan iklim.
Pernyataan tersebut, disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto pada Jumat (2/12/2022). Lebih lanjut, Airlangga menegaskan bahwa transformasi tersebut, harus dijalankan oleh seluruh stakeholder.
Lebih lanjut, Airlangga menjelaskan bahwa pemerintah juga terus melakukan berbagai upaya peningkatan koordinasi antara sektor pangan dan pertanian melalui sejumlah program untuk mencapai target pertumbuhan sektor pertanian.
Beberapa di antaranya, yakni stabilisasi pasokan dan harga pangan, kemitraan berbasis closed loop hortikultura, serta pengembangan korporasi petani dan nelayan.
“Sinergi Pemerintah, dunia usaha, akademisi, serta seluruh komponen masyarakat merupakan persyaratan agar pemulihan sektor ekonomi dapat bersifat inklusif. Saya minta agar seluruh rantai pasok daripada industri pangan ini bisa dijaga dan balance antara supply dan demand terus terukur,” kata Airlangga.
Menurut dia, laju pertumbuhan ekonomi nasional terus berlanjut dengan mendapatkan dukungan dari sejumlah sektor utama seperti kesehatan, telekomunikasi, perdagangan, pertanian, konstruksi, dan termasuk industri pengolahan.
Meski ikut terdampak pandemi covid-19, industri makanan dan minuman (mamin) mampu tumbuh 3,57 persen (yoy) dan mencatatkan diri sebagai subsektor dengan kontribusi terbesar terhadap PDB industri pengolahan non migas pada kuartal III-2022, dengan sokongan sebesar 38,69 persen.
“Indonesia memiliki landasan ekonomi yang kuat, dimana di kuartal ketiga kita tumbuh 5,72 persen. Dan ini lebih baik dari beberapa negara seperti Tiongkok, Singapura, Korsel, Jerman, dan yang lain,” ujarnya.
Neraca perdagangan nonmigas juga mengalami surplus selama periode Januari hingga Oktober 2022. Surplus tersebut ditunjang dari nilai ekspor subsektor industri mamin, termasuk minyak sawit, yang bertumbuh sebesar 10,73 persen (yoy) atau senilai USD37,6 miliar.
Hal tersebut merupakan indikator positif guna mempertahankan daya saing produk Indonesia di pasar global, ditengah kondisi ketidakpastian ekonomi dunia saat ini.
“Pertumbuhan industri makan dan minuman perlu terus dijaga, agar kita mampu tahan terhadap guncangan global, termasuk krisis pangan,” tegasnya. (her/fat)