Jakarta (pilar.id) – Dosen FISIP Universitas Surakarta (UNSA), Djoko Sutanto, mencurigai adanya kepentingan politik dari bebas bersyaratnya 23 koruptor. Pasalnya, pembebasan bersyarat tersebut dilakukan menjelang Pemilu 2024.
Paling tidak, kata Djoko, ada tiga alasan pembebasan bersyarat 23 koruptor patut diduga mengandung unsur politis.
Pertama, para koruptor yang mendapatkan pembebasan bersyarat masih memiliki kekuatan finansial, sehingga bisa dimanfaatkan partai untuk menggerakkan mesin partai.
“Apalagi tidak ada larangan bekas napi koruptor untuk mencalonkan di lembaga legislatif,” kata Djoko kepada pilar.id, Jumat (9/9/2022).
Kedua, beberapa dari koruptor yang bebas bersyarat masih memiliki basis masa, sehingga diharapkan dapat mendulang suara pada pemilihan legislatif (Pileg) yang akan datang.
Ketiga, partai akan tetap memanfaat masa mengambang dengan memanfaatkan ketokohan mereka dan kekuatan finansial yang dimiliki.
“Kecurigaan bisa saja, karena pembebasan bersyarat mereka menjelang pesta demokrasi yang akan digelar,” kata dia.
Lebih jauh secara hukum, kata Djoko, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sulit untuk dikritik karena berlindung dibalik peraturan perundang-undangan.
“Tetapi secara politik keputusan pembebasan bersyarat ini jauh dari etika politik, karena keputusan ini menciderai masyarakat Indonesia yang mendambakan Indonesia bebas korupsi,” tegasnya.
Adapun, 23 narapidana tindak pidana korupsi itu berasal dari Lapas Kelas I Sukamiskin dan Lapas Kelas IIA Tangerang. Para narapidana yang bebas dari Lapas Kelas IIA Tangerang, yakni mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari, eks-Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah, Desi Aryani, dan Mirawati.
Kemudian, narapidana dari Lapas Kelas I Sukamiskin, antara lain, Syahrul Raja Sampurnajaya, Setyabudi Tejocahyono, Sugiharto, Andri Tristianto Sutrisna, Budi Susanto, dan Danis Hatmaji. Lalu, Patrialis Akbar, Edy Masution, Irvan Rivano Muchtar, Ojang Sohandi, Tubagus Cepy Septhiady, Zumi Zola Zulkifli, Andi Taufan, Arif Budiraharja, Supendi, Suryadharma Ali, Tubagus Chaeri Wardana, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Amir Mirza Hutagalung. (her/fat)