Jakarta (pilar.id) – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di awal tahun mencatatkan sangat baik. Bahkan, pemerintah mencatat APBN mengalami surplus Rp90,8 triliun atau 0,43 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Pendapatan negara naik 48,1 persen, ini adalah kenaikan yang lebih tinggi lagi dibanding akhir tahun 2022, mencapai Rp232,2 triliun,” kata Sri Mulyani, di Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Di satu sisi, belanja negara juga tetap tumbuh 11,2 persen atau mencapai RP141,4 triliun. Belanja negara ini merupakan 4,6 persen dari target APBN.
“Dan untuk keseimbangan primer bahkan surplus Rp113,9 triliun,” kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani kinerja APBN ini dipengaruhi oleh perekonomian global dan domestik. Dari sisi global, seluruh negara memang sedang mengalami perlambatan, terutama Amerika Serikat, Eropa, dan Tiongkok.
“Ini tentu akan menjadi pengaruh yang sangat menentukan perekonomian Indonesia juga,” kata dia.
Sementara itu, perekonomian domestik dinilai semakin kuat. Hal itu ditunjukkan dengan pengumuman dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,3 persen.
“Ini adalah pola pemulihan yang resilience dan sangat meyakinkan. Karena, kalau kita lihat negara lain, dia bisa pulih kemudian melorot,” kata Sri Mulyani.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, surplus bisa terjadi karena adanya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) dari tahun sebelumnya. Menurut Tauhid, ketika tahun-tahun awal terjadi surplus justru bukanlah hal yang positif.
“Karena apa? Ya tadi (belanja negara), yang bisa diharapkan bisa jadi pendorong pertumbuhan ekonomi ternyata pemerintah nggak bisa dibelanjakan dengan baik,” kata dia.
Dengan kata lain, ketika APBN surplus, tetapi di sisi belanja lemah menandakan pemerintah belum melakukan banyak hal. Untuk gaji pegawai dan biaya operasional kantor memang sudah menjadi pengeluaran rutin. Namun, untuk belanja bantuan sosial (bansos) dan subsidi belum dikeluarkan dari kantong bendahara negara.
“Apalagi belanja modal, belum ada lelang di Januari, kan. Paling cepat April. Tapi kan sudah ada yang sifatnya rutin tadi, bansos dan sebagainya harusnya sudah didistribusikan. Karena anggaran tidak dikeluarkan, masyarakat yang biasanya dapat bansos terlambat ya dia tidak bisa gunakan sebagai penopang konsumsi mereka,” kata dia.
Tauhid menduga APBN 2023 akan kembali mengalami defisit 2,6 sampai 2,9 persen. Karena itu, ia berharap pemerintah mengurangi penambahan utang. “Harus kembali ke undang undang ya, Perppu 1 2020 bahwa 2023 merupakan batas akhir defisit di atas 3 persen,” kata Tauhid. (ach/din)