Yogyakarta (pilar.id) – Nelayan di pesisir pantai selatan Yogyakarta harus berhadapan dengan kondisi sulit. Perubahan iklim yang terjadi memicu kenaikan suhu permukaan air laut dan cuaca yang tak stabil.
Hal ini ternyata berdampak pada kelangkaan hasil tangkapan. Sementara tak ada tangkapan, bagi mereka, berarti tak makan. Yang terjadi kemudian, mereka kini hanya bisa bertahan sebisanya.
Mimpi buruk ini juga dialami Sumardi, nelayan Pantai Baron, Gunungkidul. Sudah setahun ini, hasil tangkapannya terus menurun. Sumardi hanya mampu memperoleh sekitar lima kilogram hasil tangkapan dalam sekali melaut. Padahal, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, ia biasa mendapatkan 15-20 kg.
“Biasanya bulan-bulan ini kan nelayan itu gak ada pacekliknya, justru malah lagi musim. Ntah itu lobster, ikan, gitu banyak-banyaknya. Tapi kenyataannya kan untuk saat ini susah kita cari ikan,” keluh Sumardi.
Ditemui awak pilar.id, Sumardi mengaku sudah tak melaut lebih dari dua minggu. Menurutnya, hasil tangkapan ikan tak sebanding dengan modal yang harus ia keluarkan untuk sekali perjalan.
Senada dengan apa yang dialami Sumardi, sembilan kilometer dari tempat ia tinggal, Ngadiran, nelayan, mengaku jika tangkapannya terus menurun beberapa bulan belakangan.
Ia hanya mampu membawa dua hingga tiga kilogram hasil tangkapan. Dibanding beberapa tahun lalu, lima kilogram hasil tangkapan tak dapat digolongkan dalam sebuah hasil yang layak.
“Sekarang gak cuma sepi, daratan dilockdown niku, sakniki laut nggih dilockdown,” ujar Mbah Ngad, panggilan akrabnya, sambil tersenyum pahit.
Kondisi keuangan Ngadiran saat ini juga terbilang cukup buruk. Ia hanya mampu mengantongi tak lebih dari Rp 50 ribu per hari. Itu belum dipotong uang rokok dan kopi. Biasanya ia hanya akan membawa pulang uang Rp 15-20 ribu rupiah perhari.
Nasib naas para nelayan pesisir selatan Gunungkidul dibenarkan oleh Rujiman, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) cabang Gunungkidul. Katanya, kenaikan suhu air laut memang jadi penyebab minimnya hasil tangkapan para nelayan.
“Hasil laut ini berkurang karena cuaca yang tidak stabil, bukan karena gelombangnya, tapi suhu air laut yg tidak stabil,” ungkap Rujiman.
Lantas apa yang harus dilakukan? Menurut Rujiman, pemasangan rumpon merupakan jalan keluar paling tepat yang dapat dilakukan oleh para nelayan.
“Jadi rumpon itu rumahnya ikan kecil-kecil. Karena kan rumpon ini membuat rumah plankton, lalu plankton dimakan ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan yang lebih besar,” jelasnya.
Rumpon sendiri bentuknya beragam. Yang paling umum, rumpon terbuat dari kumpulan bambu yang disusun membentuk instalasi, lantas dibalut dengan daun kelapa. Rumpon lantas diberi pemberat di bagian bawahnya, agar dapat tenggelam ke dasar laut.
“Jadi harapan kami ke pemerintah, bisa memfasilitasi pemberdayaan nelayan, agar bisa menangkap ikan dengan adanya rumpon,” tutup Rujiman. (fir/hdl)