Jakarta (pilar.id) – Pemerintah resmi menyerahkan draf penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil konsultasi publik dan sosialisasi kepada Komisi III DPR.
Salah satu pasalnya menyatakan bahwa, penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden serta wakil presiden (wapres), tidak dikategorikan sebuah tindak pidana bila dilakukan dalam aksi unjuk rasa atau demonstrasi.
Hal itu tertuang di bagian penjelasan Pasal 218. Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.
Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
“Yang dimaksud dengan dilakukan untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden,” demikian penjelasan Pasal 218 ayat (2) yang dikutip dari draf terbaru RKUHP
Kamis (10/11/2022).
Lebih lanjut penjelasan ayat tersebut menyatakan, dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan presiden dan/atau wapres.
Pada dasarnya, kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Kemudian, ada dua pasal lagi yang mengatur tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wapres, yakni Pasal 219 dan 220.
Pasal 219 menyatakan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden dan/atau wapres dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dapat dipidana dengan penjara maksimal empat tahun atau denda maksimal Rp200 juta.
Kemudian, Pasal 220 berisi dua ayat. Ayat (1) menyatakan tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wapres hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Kemudian ayat (2) menyatakan pengaduan dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden dan/atau wapres.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan, dialog publik RKUHP telah dilaksanakan di 11 kota mulai dari Medan pada 20 September dan terakhir di Sorong pada 5 Oktober. Dialog publik diawali kick off sosialisasi pada 23 Agustus 2022.
Edward menjelaskan, terdapat penyempurnaan naskah RKUHP. Naskah RKUHP terupdate versi terupdate adalah versi 9 November 2022. Awalnya pada naskah RKUHP tanggal 6 Juli 2022 terdapat 632 pasal. Saat ini menjadi 629 pasal.
“RKHUP versi 9 November 2022 mengadopsi 53 masukan masyarakat dalam rentang tersebut dan penjelasan dari dialog publik di 11 kota,” ujar Edward dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (9/11/2022).
Edward mengatakan, masukan masyarakat diantaranya reformulasi menambahkan kata “kepercayaan” di pasal-pasal yang mengatur mengenai agama, mengubah frasa “pemerintah yang sah” menjadi “pemerintah”, dan mengubah penjelasan pasal 218 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
“Jadi kami memberi penjelasan supaya tidak terjadi multi interpretasi, ini betul betul berdasarkan masukan dari hasil dialog publik,” terang Edward.
Setelah Komisi III DPR menerima naskah penyempurnaan RKUHP berdasarkan masukan masyarakat dan dialog publik, pembahasan RKUHP akan mulai dilakukan pada 21 dan 22 November 2022. (her/fat)