Probolinggo (pilar.id) – Orang-orang itu sibuk menyiapkan kain putih, bebek, cepel, cobek, beras, hingga kulak atau wadah bambu. Sebuah ritual harus digelar, segala persiapan mesti matang, tanpa salah.
Di tempat lain, beberapa orang yang lain menyiapkan boneka bernama Petra. Bagi warga Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Petra adalah tempat kembalinya roh atau atma.
Mereka membuat Petra dengan menggunakan daun dan bunga. Setelah selesai, boneka ini akan disucikan oleh pemuka adat.
Seperti warga Tengger lain yang tersebar di 36 desa di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, setiap benda yang akan mereka gunakan untuk ritual hari itu memiliki makna tersendiri.
Tak berbeda dengan saat menggelar upacara Yadnya Kasada, Unan-unan, dan Entas-entas, upacara yang akan mereka gelar sekarang.
Masyarakat Tengger di Gunung Bromo memang mempunyai beragam tradisi budaya. Dan Entas-entas, meski bersifat lebih personal, karena berhubungan dengan kematian anggota keluarga, juga digelar dengan tata cara lengkap.
Bagi warga Tengger, kematian tanpa ritual Entas-entas adalah proses yang tak tuntas. Upacara yang dipercaya jadi jalan penghormatan tertinggi terhadap leluhur ini digelar seribu hari usai kematian, atau minimal 44 hari usai kematian.
Meski sekilas lebih mirip kenduri daripada gambaran suasana duka, Entas-entas lebih kaya dengan tahapan dan simbol. Leluhur yang diwakili satu Petra, atau makna di balik Entas-entas yang berarti mengangkat atau mengembalikan kembali unsur unsur penyusun tubuh manusia yaitu, tanah, kayu, air dan api.
Entas-entas biasanya digelar dengan tahapan khusus. Seperti anggota keluarga yang mengisi kulak atau bumbung yang terbuat dari bambu itu dengan beras, keluarga yang berkumpul di bawah kain putih panjang yang dibentangkan oleh dukun setempat, hingga prosesi atma atau roh yang dientas. (ful/hdl)