Jakarta (pilar.id) – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Profesor Susi Dwi Harijanti menegaskan, ide penundaan pemilu dengan alasan ekonomi adalah ide yang bertentangan dengan UUD 1945.
“Penundaan pemilu akan berakibat munculnya masalah baru sebagai konsekuensi dari penundaan,” kata Susi kepada Pilar.id, Senin (28/2/2022).
Hal ini, kata dia, terjadi karena pemilu adalah cara pengisian jabatan Presiden dan Wapres, DPR, DPD, dan sebagainya. UUD 1945 menganut prinsip konstitusionalisme yang berintikan pembatasan kekuasaan berdasarkan konstitusi.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra melalui akun Instagramnya menilai, setiap warga negara boleh mengusulkan gagasan dan ide apa saja di dalam negara demokrasi ini. Tetapi, usulan penundaan Pemilu ini menghadapi benturan konstitusi dan UU.
Sebagai negara hukum, kita wajib menjunjung hukum dan konstitusi. UUD 45 tegas mengatakan bahwa pemilu diselenggarakan sekali dalam lima tahun. UU juga demikian,” kata Yusril.
Kalaupun pemilu ditunda, ia mempertanyakan lembaga ada yang berwenang menundanya. Akan ada konsekuensi yang ditimbulkan dari penundaan pemilu, mulai dari masa jabatan presiden dan wakil presiden, kabinet, DPR, DPD dan MPR akan habis dengan sendirinya.
Ia juga mempertanyakan, lembaga apa yang berwenang memperpanjang masa jabatan para pejabat negara jika pemilu ditunda. Lalu, produk hukum yang harus dibuat untuk menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan juga masih belum jelas. Pertanyaan-pertanyaan ini belum dijawab dan dijelaskan oleh mereka yang meminta pemilu ditunda.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini bilang, kalau asal tunda pemilu dan asal perpanjang masa jabatan para pejabat negara tanpa dasar konstitusional dan pijakan hukum yang kuat, maka ada kemungkinan timbulnya krisis legitimasi dan krisis kepercayaan.
“Keadaan seperti ini harus dicermati betul, karena ini potensial menimbulkan konflik politik yang bisa meluas ke mana-mana,” tegasnya.
Amendemem UUD 1945 menyisakan persoalan besar bagi bangsa Indonesia, yakni kevakuman pengaturan jika negara menghadapi krisis seperti tidak dapatnya diselenggarakan pemilu.
Sementara tidak ada satu lembaga apapun yang dapat memperpanjang masa jabatan presiden atau wakil presiden, atau menunjuk seseorang menjadi pejabat presiden seperti dilakukan MPRS tahun 1967. (her/hdl)