Jakarta (pilar.id) – Tepat sepekan lalu, pada Rabu (24/8/2022) Pemerintah secara resmi telah mengusulkan agara Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2022.
Usulan tersebut disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam rapat kerja yang dilakukan pemerintah bersama DPR RI. Pengusulan RUU Sisdiknas masuk ke Prolegnas Prioritas pun mendapatkan banyak tanggapan dari masyarakat.
Salah satunya dari Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) yang memeberikan beberapa catatan terkait isi dari RUU Sisdiknas. Menurut Ketua Umum Himpaudi, Prof Netti Herawati, pihaknya mendukung RUU Sisdiknas tetapi, dengan beberapa catatan.
“Kami mendukung RUU Sisdiknas dengan beberapa catatan masukan di antaranya pada pasal 49 terkait layanan pengasuhan untuk anak usia nol hingga enam tahun, mengingatkan layanan pendidikan bukan hanya melayani pengasuhan tapi pemenuhan anak secara integratif holistik yang meliputi pendidikan, gizi kesehatan, pengasuhan, perlindungan, dan kesejahteraan,” ujar dia pada peringatan HUT Ke-17 Himpaudi di Jakarta, Rabu (31/8/2022).
Dia menambahkan pasal itu berisiko ambigu terhadap penerapan layanan taman anak, PAUD formal yang melayani usia tiga hingga lima tahun sehingga untuk PAUD yang melayani usia nol hingga dua tahun diusulkan PAUD nonformal.
Dia juga meminta dilakukan penulisan secara eksplisit tunjangan profesi pada pasal 105 RUU Sisdiknas.
“Membaca pasal 105 dalam RUU Sisdiknas bunyinya mendapat penghasilan. Seharusnya di tengah-tengahnya ada tunjangan sosial,” kata dia.
Akan tetapi, pihaknya melihat pada pasal 145 RUU tersebut sudah dijelaskan yang sudah diberikan tunjangan profesi diberikan tunjangan sampai akhir dan yang belum jika memenuhi syarat dapat diberikan yang sama.
“Hanya saja itu perlu pengawalan terkait peraturan turunan,” kata dia.
Dia mengapresiasi Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim yang mampu membaca fakta di lapangan ada guru anak usia tiga hingga lima tahun, yang melaksanakan tugasnya, mengikuti akreditasi, menjalankan kurikulum, tetapi mereka tidak diakui.
“Bayangkan seorang guru yang mendidik anak-anak dari kecil yang begitu berat sebenarnya, tapi dia tidak diakui. Sebuah status profesi, lepaskan tunjangannya, status menenangkan dia dalam bekerja, kalau tidak sebagai guru, lalu sebagai apa? Itu menjadi perhatian kami dan menyampaikan penghormatan,” terang dia.
Netti menambahkan bahwa layaknya sebuah RUU ada beberapa yang perlu diberi masukan, akan tetapi tidak boleh menafikan yang sudah bagus. (fat)