Jakarta (pilar.id) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengambil tindakan serius terkait dugaan kasus kawin tangkap yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Kamis (7/9/2023) lalu.
Dikutip dari laman KemenPPPA, Selasa (12/9/2023), Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati mengatakan bahwa kasus semacam ini melanggar hak perempuan untuk hidup aman tanpa kekerasan.
Praktik kawin tangkap sendiri adalah tindakan kriminal yang tidak dapat dibenarkan. Ratna juga menekankan bahwa alasan budaya tidak boleh digunakan sebagai pembenaran untuk tindakan yang merugikan perempuan dan anak.
Ratna mengingatkan bahwa, selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus ini juga bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Pasal 4 ayat (1) huruf e jo Pasal 10 UU TPKS menyatakan bahwa pemaksaan perkawinan, terutama yang mengatasnamakan praktik budaya, dapat dikenai hukuman penjara maksimal 9 tahun dan/atau denda hingga Rp200 juta.
Ratna juga menyebut bahwa KemenPPPA akan terus mengawal perkembangan kasus ini dan bekerja sama dengan berbagai instansi terkait, termasuk pihak kepolisian, untuk memastikan tindakan hukum yang tegas diambil.
Selain itu, KemenPPPA juga akan memberikan pendampingan kepada korban sebagai bentuk perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban.
Masyarakat yang mengetahui atau mengalami kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dihimbau untuk melaporkannya kepada lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU TPKS, seperti UPTD PPA dan Kepolisian. Masyarakat juga dapat menggunakan hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau menghubungi melalui Whatsapp di 08111-129-129. (ret/ted)