Purwokerto (pilar.id) – Kasus yang menimpa Nurhayati dapat dijadikan sebagai pendidikan pada masyarakat, agar tidak perlu takut melaporkan kasus dugaan korupsi.
“Saya kira dari kasus ini sebagai bentuk pendidikan masyarakat agar yang melapor tidak takut. khusus terhadap Nurhayati, ya, dihentikan,” kata pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho, Minggu (27/2/2022).
Pernyataan ini terkait rencana Polri menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Kepala Urusan Keuangan Desa Citemu Nurhayati yang sebelumnya sebagai tersangka dugaan korupsi dana desa oleh Kepolisian Resor Cirebon.
Dalam hal ini, gelar perkara yang berlangsung pada hari Jumat (25/2/2022) menunjukkan penyidik Polres Cirebon tidak memiliki cukup bukti menetapkan Nurhayati sebagai tersangka dugaan korupsi dana desa.
Kasus Nurhayati sempat viral di media sosial dan menarik perhatian publik karena banyak pihak menilai perempuan itu merupakan salah satu pelapor atau pihak yang berupaya membongkar kasus korupsi dana desa di Citemu.
Oleh karena itu, penetapan Nurhayati sebagai tersangka oleh Polres Cirebon tersebut menuai kritik dan protes masyarakat serta berbagai organisasi masyarakat sipil.
Lebih lanjut, Prof. Hibnu mengatakan bahwa sistem peradilan pidana khususnya pada praajudikasi terdapat asas diferensiasi fungsional, yakni asas pemisahan wewenang dan fungsi antara penyidik polisi dan jaksa.
Dalam kasus (Nurhayati) ini, kata dia, rupanya ada suatu pemahaman yang perlu diluruskan bahwa penentuan tersangka itu kewenangan kepolisian karena penyidiknya adalah polisi.
“Jadi, kalau toh dilimpahkan ke kejaksaan, jaksa memberikan suatu saran sebagai bentuk ruang komunikasi prapenuntutan, itu hanya dalam hal bukti yang diajukan, bukan menambah tersangka,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu.
Karena merupakan kewenangan kepolisian, menurut dia, polisilah yang menentukan tersangka.
Dengan demikian, jika kasus tersebut di-SP3-kan, lanjut dia, berarti polisi yang menentukan dan menerbitkan SP3-nya meskipun berkas sudah dilimpahkan (P-21) ke kejaksaaan.
“P-21 ‘kan baru tahap pertama, belum diterima seluruhnya, baru penyerahan. Makanya, keinginan polisi untuk SP3-kan itu tugas wewenang polisi karena yang menentukan tersangka itu polisi, bukan jaksa,” katanya.
Menurut dia, SP3 atau penghentian kasus Nurhayati tersebut dilakukan Polri demi kepentingan hukum karena berkaitan dengan kecukupan bukti, peran, dan sebagainya.
“Kalau memang masih ragu, tidak ada bukti, mudah-mudahan, ya, tidak (ada) bukti, ya, dihentikan. Jadi, permasalahan bukti, dihentikan demi kepentingan hukum, bukan kepentingan hukum,” katanya menegaskan.
Terkait dengan berkas kasus Nurhayati yang telah dilimpahkan ke kejaksaan, Hibnu mengatakan bahwa jaksa hanya melihat dari aspek kecukupan bukti, bukan karena desakan publik.
Menurut dia, hal itu dilakukan kejaksaaan agar di persidangan tidak sampai cukup bukti sehingga jaksa yang kena. “Karena apa pun yang terjadi, jaksa merupakan pihak yang mempertahankan perkara di persidangan,” katanya.
Dengan demikian, kalau masih ada keraguan, bukti kurang, lebih baik dihentikan di tingkat kepolisian karena yang tentukan tersangka adalah penyidik polisi.
Akan tetapi, jika Nurhayati tidak melaporkan kasus dugaan korupsi dana desa tersebut, kata dia, perempuan yang menjabat sebagai Kaur Keuangan Desa Citemu itu justru dapat turut serta dijadikan tersangka. Karena mengetahui kasus dugaan korupsi tersebut, menurut dia, Nurhayati wajib melaporkan.
“Dalam delik korupsi, dia mengetahui tetapi tidak lapor, itu sudah kena tindak pidana karena melakukan pembiaran. Kalau dia mengetahui (kasus dugaan korupsi tersebut), wajib lapor karena kalau enggak, akan kena asas pembiaran,” kata Hibnu. (usm/hdl/antara)