Jakarta (pilar.id) – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengapresiasi keputusan beberapa kepala daerah yang menghentikan pembelajaran tatap muka(PTM) 100 persen. Daerah aglomerasi Jabodetabek sudah semestinya menghentikan PTM 100 persen.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim menyatakan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan jangan ragu lagi untuk menghentikan PTM 100 persen terhadap semua jenjang sekolah di DKI Jakarta, mengingat positivity rate di Ibu Kota sudah menembus 16 persen.
Bahkan data terbaru menunjukkan sudah ada 190 sekolah yang siswa dan gurunya terpapar covid-19, diantara sekolah tersebut banyak yang sudah di kali terdampak.
“Perlu diingat, rekomendasi WHO bahwa sekolah bisa dimulai PTM jika positivity rate di bawah 5 persen. Artinya, jika daerah tersebut sudah mengalami positivity rate di atas 5 persen bahkan di atas 15 persen, ya sudah semestinya PTM-nya dihentikan,” kata Satriwan, Jumat (4/2/2022).
Sementara itu, lanjutnya, SKB 4 Menteri mesti disesuaikan dengan kondisi daerah saat ini. P2G memandang banyak kepala daerah yang masih ragu bahkan takut jika stop PTM 100 persen akan bertentangan dengan SKB 4 Menteri. Tapi ingat, sebagaimana UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sekolah berada di bawah kewenangan Pemda yaitu PAUD, SD, SMP di bawah Pemkab/Pemkot dan SMA, SMK, SLB di bawah Pemprov.
“Mestinya UU ini yang dijadikan rujukan oleh Kepala Daerah, di samping SKB 4 Menteri yang jelas kedudukannya di bawah UU,” tegasnya.
Kepala daerah yang wilayahnya sedang mengalami kenaikan kasus covid-19 hendaknya langsung bertindak tegas dan terukur, jangan malah ngeyel dan bersikap tidak perduli.
“Masa mau menunggu kasus makin tinggi, dan sekolahnya menjadi klaster. Dalam kondisi darurat begini, keselamatan dan kesehatan warga sekolah menjadi utama. Bayangkan saja, masa guru harus mengajar dan siswa belajar di tengah kenaikan kasus covid-19,” kata dia.
P2G sangat mendukung pernyataan Presiden Jokowi agar tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten melakukan evaluasi PTM 100 persen secara total, mengingat daerah ini yang ada aglomerasi di dalamnya, menjadi episentrum kenaikan kasus.
“Saya rasa kepala daerah punya landasan yuridis UU Pemda tadi, sehingga punya diskresi untuk mrnentapkan keputusan yg berbeda dari SKB 4 Menteri,” ujarnya.
Sebenarnya, keputusan untuk menunda PTM 100 persen ini bukan hal baru juga. Kementerian Agama menyatakan dalam Surat Edaran No. B-3/Dj.I/Dt.I.I/PP.00/01/2022, khususnya angka 3, bahwa Kepala Madrasah dapat menentukan opsi skema pembelajaran yang dipakai baik PJJ atau BDR, di tengah kenaikan kasus covid-19, sepanjang dikoordinasikan dengan Kanwil Kementerian Agama setempat.
P2G menilai, Kemenag lebih fleksibel dalam menentukan skema pembelajaran. “Apakah lantas dikatakan Kemenag melanggar SKB 4 Menteri? Saya rasa tidak, terbukti jika melanggar mestinya ada sanksi dong, tapi kan tidak ada, surat edarannya tetap berlanjut diimplementasikan,” ujar Satriwan.
Kondisi semua ini membuktikan buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, dan tidak tegasnya pemerintah pusat dalam memberikan direksi, arahan kepada pemerintah daerah, sehingga yang terjadi berjalan sendiri-sendiri.
“Sampai-sampai Anies Baswedan harus meminta izin kepada Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan untuk menghentikan PTM 100 persen di Jakarta, padahal kepala daerah di sekitar DKI Jakarta saja sudah lebih berani, memutuskan PTM 100 persen dihentikan,” pungkasnya. (her/din)