Jakarta (pilar.id) – Perkembangan ekonomi digital perlu diikuti regulasi yang mendukung, salah satunya terkait data. Saat ini terdapat kesenjangan peraturan terkait data antar negara-negara ASEAN dan hal tersebut perlu segera diatasi.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Thomas Dewaranu mengatakan, ada kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi digital yang sangat pesat di ASEAN dengan peraturan yang komprehensif mengenai perlindungan data dan tata kelola data di negara-negara anggota ASEAN.
“Hal ini dapat menghambat negara-negara di kawasan ini untuk mencapai potensi ekonomi digital yang maksimal,” kata Thomas, Senin (20/12/2021).
Pasar ekonomi digital ASEAN diperkirakan akan mencapai US$1 triliun pada 2030. Namun potensi ini akan sulit tercapai kalau ASEAN tidak menyediakan regulasi terkait data yang akan menunjang keamanan dalam bertransaksi dan lalu lintas informasi.
ASEAN sebenarnya sudah memiliki ASEAN Digital Masterplan 2025 (ADM) dan beberapa kerangka kerja ASEAN tentang perlindungan data dan tata kelola data, yaitu The ASEAN Framework on Personal Data Protection” dan “The ASEAN Framework on Digital Data Governance”.
“Namun kerangka peraturan ini belum sepenuhnya diadopsi secara luas oleh negara-negara anggota ASEAN. Peraturan ini perlu dibuat lebih spesifik dan terkonsolidasi supaya dapat diharmonisasikan dengan regulasi di setiap negara terkait transfer data lintas batas dan mekanisme data sharing,” kata dia.
Tingkat adopsi peraturan mengenai data pribadi antar negara-negara ASEAN juga berbeda-beda. Singapura, Filipina, dan Thailand sudah memiliki peraturan perlindungan data pribadi yang terkonsolidasi. Sedangkan Vietnam dan Indonesia merupakan negara yang belum. Kapasitas regulasi Vietnam dan Indonesia juga masih sangat terbatas dalam pengaturan mengenai kategorisasi data, ketentuan transfer data lintas batas dan keduanya cenderung suportif terhadap lokasilisasi data.
ASEAN perlu menyepakati dan membuat peraturan yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang tersedia dalam ASEAN Framework on Personal Data Protection dan ASEAN Framework on Digital Data Governance, yang mencakup juga best practices tentang perlindungan data. Misalnya mengadopsi peraturan perlindungan data yang berlaku bukan hanya bagi sektor swasta, namun juga bagi sektor publik, serta mendukung pembentukan otoritas perlindungan data atau data protection authority (DPA) yang independen.
Tanpa regulasi perlindungan data dan tata kelola data yang kuat, investasi infrastruktur digital dapat menjadi titik masuk bagi modal korosif, yang memanfaatkan kekosongan peraturan (regulatory gap) di negara-negara tujuan.
Modal korosif dapat diartikan menjadi investasi dengan motif samar yang seringkali tidak transparan, didasari kepentingan politik dan bersumber dari rezim otoriter ke ekonomi baru atau transisi dengan tujuan untuk memengaruhi ekonomi.
Maka dari itu, CIPS merekomendasikan ASEAN Digital Masterplan 2025 untuk menambahkan panduan terkait investasi pada infrastruktur digital untuk mengantisipasi adanya kebutuhan investasi untuk mengembangkan infrastruktur digital dan regulasi yang mengatur perlindungan data pribadi di wilayah tersebut.
Hal ini dilakukan untuk meminimalkan risiko berupa modal korosif yang dapat mengganggu aktivitas terkait data digital di ASEAN. “Selain itu, ASEAN juga perlu merumuskan kerangka peraturan dan dokumen panduan tentang investasi infrastruktur digital dan non-digital,” pungkasnya. (her)