Jakarta (pilar.id) – Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Kholik mengatakan, oligarki akan selalu muncul menyesuaikan perkembangan zaman, baik di era otoriter maupun demokrasi.
Namun, yang menjadi perhatian dari Idham Kholik adalah kenyataan bahwa oligarki, seringkali tidak peduli dengan kualifikasi kandidat. Kualifikasi dan kemampuan dari kandidat politik, kerap kali dikesampingkan.
“Seringkali politik pemilu terjebak pada persoalan bagaimana nepotisme, primordialisme,” kata Idham, di Jakarta, Kamis (29/9/2022).
Idham juga mengkritisi sistem proporsional daftar terbuka yang mendorong terjadinya personalisasi politik. Hal ini menjadi catatan Idham karena membuat perilaku pemilih menjadi tidak rasional.
“Kita bisa lihat bagaimana kampanye mereka lebih mengedepankan wajah individu daripada program maupun ideologi partai politik,” kata Idham.
Sistem proporsional daftar terbuka, kata Idham, juga seringkali dikritik banyak pihak karena menyebabkan pemilu berbiaya mahal. Sehingga kandidat yang terpilih akan menggunakan berbagai kesempatan untuk mencari celah agar modal yang telah dikeluarkan bisa kembali.
“Aktivis yang menjadi kandidat, ya seringkali juga mau tidak mau harus tunduk pada oligarki. Itu menurut pengamatan saya,” kata Idham.
Menurutnya, pemilih perlu disadarkan karena mereka harus berdaulat. Terlebih, pemilu merupakan kontrak sosial. Sehingga, pemilih selaku rakyat dapat memberikan kedaulatannya kepada para kandidat untuk memperjuangkan kepentingan politiknya ketika mereka terpilih.
“Tapi apakah seperti itu prakteknya? Ini harus jadi konsen kita. Apalagi ketika kita bicara politik oligarki di awal masa tahapan kampanye ini memiliki nilai yang sangat strategis,” kata Idham.
Idham mengatakan, demokrasi harus dijaga karena bisa menjadi sistem politik yang rentan hanya dengan mengatasnamakan kebebasan. Selain itu, dengan mengatasnamakan hak individu seringkali juga melanggar etika politik. (ach/fat)