Jakarta (pilar.id) – Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terus menggarap dan mengembangkan health tourism atau wisata medis.
Pengamat pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Chusmeru mengatakan, peluang health tourism di Indonesia sangat besar jika dikelola dan dikembangkan secara baik dan tepat. Secara konsep, health tourism hampir mirip dengan wellness tourism atau wisata kebugaran.
“Indonesia memang memiliki banyak potensi, baik wisata kesehatan maupun wisata kebugaran. Indonesia banyak memiliki sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan maupun terapetik. Sumber daya alam dan budaya juga mendukung dikembangkannya wisata kesehatan di Indonesia,” kata Chusmeru kepada Pilar,id, Minggu (26/6/2022).
Kemenparekraf telah mencanangkan gagasan untuk menawarkan health tourism ini kepada pasar wisata domestik maupun mancanegara.
Hal tersebut tentu perlu diapresiasi, karena wisata kesehatan dapat menjadi bagian dari diversifikasi dan inovasi produk wisata.
Apalagi pasca pandemi covid-19, wisatawan cenderung menyukai destinasi wisata yang menyuguhkan keindahan, kesejukan, kebugaran, dan kesehatan. Indonesia banyak memiliki potensi health tourism yang ada di berbagai daerah. Potensi itu sejauh ini belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai produk wisata yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat setempat.
Padahal, kata dia, health tourism juga dapat dipandang sebagai upaya pelestarian kearifan lokal yang ada di daerah. Sayangnya, wisata kesehatan belum optimal dikembangkan pemerintah sebagai produk wisata di Indonesia. Pengembangan beberapa destinasi super prioritas di Tanah Air lebih fokus pada wisata alam.
Setiap daerah di Indonesia dapat mengembangkan wisata kesehatan. Dengan catatan, konsep pengembangannya harus dilandasi oleh kearifan lokal. Artinya, SDM bidang kesehatan dan sumber daya alam wisata kesehatan harus dikemas berdasarkan nilai-nilai budaya yang ada di daerah ini.
Menurut dia, konsep wisata kesehatan di daerah bukan hanya mengandalkan teknologi kesehatan semata, namun juga dapat dikembangkan dalam bentuk pengobatan tradisional, terapi, maupun spa tradisional. Selama ini orang mengenal wisata kesehatan atau kebugaran sebagai daya tarik wisata yang ada di rumah sakit atau gym.
“Padahal, kebugaran atau kesehatan juga bagian dari budaya masyarakat yang dapat diperoleh melalui pengobatan, terapi, maupun spa tradisional,” kata dia.
Oleh sebab itu, lanjutnya, pemerintah daerah perlu melakukan terobosan baru dalam merancang produk wisatanya. Jika wisata kesehatan atau kebugaran ingin dijadikan bagian dari paket wisata daerah, maka perlu keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam mengembangkannya.
Pihak yang perlu dilibatkan antara lain kalangan medis (kedokteran), terapis, dan praktisi pengobatan tradisional di daerah Sumatera Selatan. Hal ini diperlukan untuk memberikan keyakinan kepada wisatawan terkait kredibilitas daya tarik wisata kesehatan ini.
Kolaborasi dengan biro perjalanan juga perlu dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk dapat menjaring wisatawan. Jika memungkinkan dapat dilakukan eksebisi maupun festival wisata kesehatan Sumatera Selatan di mancanegara.
Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam memperkenalkan budaya kebugaran sangat diperlukan, karena masyarakat setempatlah yang mengetahui tentang sejarah, filosofi, nilai, dan manfaat wisata kesehatan yang ada di daerah.
Keterlibatan masyarakat diharapkan juga bukan hanya dalam memperkenalkan wisata kesehatan, tetapi juga dalam pengelolaan potensi wisata kesehatan tersebut; sehingga dapat merasakan manfaat ekonomis dari health tourism.
“Langkah awal yang perlu dilakukan pemerintah daerah adalah melakukan pemetaan potensi wisata kesehatan yang dimiliki. Selanjutnya dirancang strategi promosi wisata kesehatan untuk dapat menumbus pasar wisata,” tutupnya. (her/din)