Pemalang (pilar.id) – Perjalanan Desa Bojongnangka, Kecamatan dan Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, seolah sedang dimulai. Dari desa miskin, desa ini tumbuh menjadi sentra pengelolaan pupuk berbahan sampah organik dan desa eduwisata.
Di tempat ini, pengunjung diajak mengenal kehidupan desa, mengakrabi sawah, mengelola pertanian dengan pupuk organik, dan, tentu saja, menikmati kuliner khas desa.
Sejarah desa ini hanya bersumber dari dongeng atau cerita dari mulut ke mulut. Dari para orang tua, Bojongnangka dihubungkan dengan peninggalan makam tua seperti Punden Pertinggi, Bahurekso, Brajakosa, Genting, Tinggal layang, Sungging Prabangkoro, Demang dan lain-lain.
Desa ini diyakini sudah ada sebelum terbentuknya Kabupaten Pemalang pada 1575 Masehi. Nama desa ini, konon bersumber dari kata mbujung yang berarti mengejar atau mencari, dan nangka yang berarti buah nangka. Lalu nama ini dihubungkan dengan peperangan Pangeran Purbaya dengan Ki Ageng Telingsingan atau Pasingsingan, dari Kerajaan Mataram.
Saat itu pengejaran Pangeran Purbaya terhadap Ki Ageng Telingsingan sampai di sebuah tempat yang tanaman nangka. Sehingga Pangeran Purbaya bersasmita, pada suatu saat nanti pedukuhan ini akan dikenal dengan nama Mbujung Nangka, yang berarti mengejar sampai di dusun yang banyak tanaman pohon nangka.
Apapun, desa ini kemudian tumbuh dengan caranya. Sempat menyandang predikat desa miskin, lalu mendapat pendampingan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui program Satu OPD Satu Desa.
Tahun 2020, Desa Bojongnangka jadi binaan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Jawa Tengah. Dua tahun berjalan, warga diajak mengenal potensi desa hingga lepas dari jerat kemiskinan.
Sebelumnya, di tahun 2019, Pemdes setempat berinisiatif membangun rumah produksi pupuk organik. Namun, karena keterbatasan anggaran, sehingga hanya mampu membeli mesin pencacah sampah. Lalu ada pendampingan dari BKD dan kerjasama Bank Jateng memberikan bantuan alat pengayak sampah, bangunan rongga untuk fermentasi, tempat sampah dan becak pengangkut sampah.
Sebuah catatan menyebut, mesin pembuat pupuk organik itu mampu menghasilan sekitar satu ton dalam sebulan. Uniknya hasil pembuatan kompos tersebut tidak dijual belikan, tapi diberikan pada petani secara cuma-cuma untuk membantu mengurangi kebutuhan pupuk.
Optimisme pun berkembang, saat keberhasilan mengelola pupuk berbahan sampah organik kemudian dikembangkan menjadi eduwisata sawah bernama Gatra Kencana. Hebatnya, sejak dibuka Desember 2021 lalu, desa ini mampu memberi pemasukan ratusan juta rupiah per bulan. (hdl)