Jakarta (pilar.id) – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) merilis beberapa temuan dari penerapan pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen. Beberapa temuan diantaranya adalah kebijakan yang tergesa-gesa, pelanggaran prokes, kurangnya pengawasan.
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri menyatakan, minimal terdapat tiga evaluasi yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, berdasarkan laporan P2G daerah, pelanggaran protokol kesehatan masih kerap terjadi.
P2G masih menemukan banyak siswa berkerumun saat pengecekan suhu setiba di sekolah. Ini terjadi karena sekolah tidak memiliki thermo gun memadai. P2G berharap agar sekolah memperbanyak thermogun yang dipasang secara terpisah satu sama lain.
“Kami dapat laporan, dari Jakarta maupun luar daerah, ada sekolah diam-diam kantinnya buka, padahal dilarang, jarak siswa tak 1 meter, dan ventilasi udara di kelas tidak ada,” tuturnya.
Salah satu SMP di Kepulauan Riau mengalami kesulitan dalam melakukan scan barcode Peduli Lindungi saat masuk sekolah. Akhirnya, karena menghindari kerumunan, beberapa an
ak masuk sekolah tanpa melakukan scan.
Selain itu, untuk kebutuhan scan barcode anak-anak membawa HP. Ternyata mereka main tiktok di dalam kelas tanpa menggunakan masker. Hal-hal semacam ini perlu dievaluasi. Itulah diantara alasan P2G meminta PTM 100 persen dilakukan secara bertahap.
Temuan beberapa sekolah yang melakukan pelanggaran prokes seperti di Jakarta, Pandeglang, Cilegon, Kabupaten Bogor, Bengkulu, Kabupaten Agam, Solok Selatan, Situbondo, Bima, intinya terjadi di semua daerah yang sudah PTM 100 persen.
“Ada SD di Banyuwangi mengadakan upacara bendera, dan beberapa anak pingsan. Kebanyakan karena sudah lama tidak upacara dan tidak sempat sarapan. Upacara bendera memang tidak dilarang, tapi potensi kerumunannya tinggi,” ujarnya.
Kedua, siswa SD masih belum bisa melaksanakan PTM terbatas 100 persen. P2G mengharapkan skema PTM 100 persen dilakukan secara bertahap. Dimulai dari 50 persen, lalu dievaluasi, jika hasilnya bagus, maka lanjut 75 persen, dan seterusnya sampai 100 persen. Intinya evaluasi komprehensif secara berkala.
“Misal, 50 persen dulu, dua minggu berikutnya naik 75 persen, dua minggu berikutnya kalau evaluasinya aman, tidak ada klaster, warga sekolah taat dengan prokes, baru bisa 100 persen,” tambah Iman.
Ketiga, P2G mendesak pemerintah meningkatkan vaksinasi anak 6-11 tahun termasuk melakukan vaksinasi booster untuk guru. P2G meminta vaksinasi guru dan peserta didik menjadi acuan, khususnya untuk siswa SD. Sebagai informasi, target sasaran vaksinasi 6-11 tahun adalah 26,5 juta anak. Namun capaiannya masih di bawah vaksinasi anak 12-17 tahun yang capaiannya sudah di atas 80 persen.
Guru sebagaimana tenaga kesehatan berada di garda depan menghadapi risiko terpapar covid-19, karena berinteraksi dengan banyak anak setiap hari. “Jadi sudah selayaknya guru mendapatkan booster vaksinasi untuk melindungi diri, keluarga, dan peserta didik,” pungkasnya. (her)