Jakarta (pilar.id) – Presiden Joko Widodo memang telah menyatakan dan meminta agar para menteri tidak lagi berbicara terkait wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden. Namun, hanya sebatas itu.
Pernyataan Presiden Jokowi, sama sekali belum menjelaskan terkait posisi pemerintah menanggapi kedua isu yang juga disuarakan oleh jajaran mereka sendiri. Sehingga, pernyataan Jokowi belum bisa dianggap sebagai kepastian bahwa pemilu tidak akan ditunda, dan tidak akan ada perpanjangan masa jabatan Presiden.
Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menyatakan, pernyataan presiden tersebut masih perlu dipastikan dengan tindakan nyata dan langkah konkret di tataran pelaksanaan untuk menciptakan kepastian politik terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 dan jabatan presiden dua periode saja, sehingga menutup segala kemungkinan politik untuk manuver amendemen konstitusi.
“Pernyataan Presiden Jokowi belum ‘case closed clearly’ dalam urusan penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan presiden,” ujar Ari Nurcahyo, Sabtu (9/4/2022).
Kata dia, segala kemungkinan politik masih bisa saja terjadi, masih bisa dimainkan oleh aktor selain menteri, oknum di luar pemerintahan, atau manuver gerakan senyap di lapangan.
Ari melanjutkan, presiden bersama jajaran pemerintah dan partai koalisinya perlu untuk memastikan/menyelesaikan tiga isu politik terkait hal ini, yaitu jabatan presiden, penundaan pemilu, amendemen konstitusi.
Pada isu jabatan presiden, perlu adanya kepastian politik dari Presiden Jokowi bahwa jabatan presiden dan wapres cukup dua periode saja sesuai konstitusi dan menjamin suksesi kepemimpinan nasional berjalan secara demokratis pada Pemilu Presiden 2024.
Pada isu penundaan pemilu, pemerintah bersama DPR perlu memastikan penyelenggara pemilu, pentahapan dan penganggaran pemilu. KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 yang baru menunggu dilantik agar bisa segera melakukan koordinasi bersama pemerintahdan DPR untuk memastikan tahapan dan anggaran Pemilu 2024.
“Mengingat pada 11 April 2022 ini masa jabatan KPU dan Bawaslu lama periode 2017-2022 akan berakhir,” kata dia.
Sementara soal isu amandemen konstitusi, perlu dipastikan bahwa pada sisa masa pemerintahan Jokowi-Maruf ini tidak ada lagi upaya atau manuver politik untuk mengamendemen konstitusi. Semuanya ini agar relevan dengan pemerintahan Presiden Jokowi untuk fokus bekerja dalam penanganan kesulitan-kesulitan ekonomi yang sedang kita hadapi.
Senada dengan itu, Peneliti PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama menyebut, pernyataan Presiden Jokowi itu dinilai masih belum jelas dan tegas. Kalimatnya masih bersayap dan masih memberikan celah untuk para elite melakukan manuver politik.
Lebih lanjut, Virdi juga menilai bahwa komunikasi politik yang terjadi di era Jokowi ini terburuk pasca-reformasi. “Dalam konteks penambahan periode masa jabatan ini (presiden) tidak bisa tegas, dalam hal lain juga menterinya acap kali tak sejalan dengan presiden,” cetus Virdi.
Penulis buku “Menjerat Gus Dur” ini juga mengungkapkan, wacana penambahan masa jabatan presiden dan amendemen UUD juga hanya mewakili kepentingan elite politik. Virdi melanjutkan, para pebinis atau oligarki yang juga menjadi menteri, di era Jokowi ini merasa bisnisnya mengalami kerugian saat terjadi covid-19 lalu memanfaatkan situasi ini dengan mengonsolidasikan kekuatan untuk tambah masa jabatan presiden.
“Dengan harapan masa jabatan mereka juga bertambah. Jadi pelaksanaan pemilu harus sesuai konsitutusi dan UU serta keinginan publik, yaitu Februari 2024,” tambah Virdi. (her/fat)