Blitar (pilar.id) – Sejak 2017, wilayah Rejokaton di Desa Sumberagung, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, telah menjadi sasaran penambangan pasir aktif. Setiap harinya, sekitar 300 hingga 400 truk mengangkut pasir dari sungai lahar Gunung Kelud yang terletak di Dusun Rejokaton.
Hasil penambangan pasir, seperti ditulis beritajatim.com, dijual dengan harga berkisar antara Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta rupiah per truk, tergantung pada kualitasnya.
Dengan potensi pendapatan seperti itu, para pengusaha tambang pasir diperkirakan dapat menghasilkan puluhan hingga ratusan juta rupiah setiap hari.
Namun, di tengah keuntungan melimpah ini, para pengusaha tambang pasir nampaknya abai terhadap kesehatan warga dan pemeliharaan infrastruktur. Hal ini terungkap pada bulan April 2023, menjelang perayaan Idul Fitri.
Pada saat itu, warga bersama pemerintah desa sepakat untuk memperbaiki jalan rusak yang biasa dilalui oleh kendaraan tambang pasir dan truk pasir. Namun, warga terkejut ketika mengetahui bahwa tidak semua pengusaha tambang pasir bersedia berkontribusi keuangan untuk proyek tersebut.
Menurut warga, hanya beberapa pengusaha tambang pasir yang bersedia menyumbang uang untuk dana perbaikan jalan rusak. Total dana yang terkumpul dari sumbangan mereka hanya mencapai Rp 24 juta saja, sementara biaya penyemiran atau perbaikan jalan di Dusun Rejokaton ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 100 juta.
Jeratan hutang Rp 56 juta
Menanggapi hal ini, Kepala Desa Sumberagung, Sugiyono, mengungkapkan, pihaknya terpaksa berhutang. “Hutang kami sekitar Rp 56 juta dan hingga sekarang juga belum lunas,” sesal Sugiyono.
“Hal ini terjadi karena tidak semua penambang mau menyumbang, bahkan warga sempat ada yang curiga. Mereka berpikir kalau uang dihabiskan (aparat) desa. Tapi akhirnya saya kumpulkan semua dan jelas ini lo sumber dananya habisnya ini,” jelas Sugiyono.
Tindakan para pengusaha tambang pasir ini menuai kritik keras dari masyarakat setempat. Mereka tidak hanya acuh terhadap kondisi jalan desa yang rusak parah, tetapi juga tidak peduli terhadap kesehatan warga.
Selama 11 bulan terakhir, warga terus menderita akibat pencemaran debu yang disebabkan oleh jalan rusak tersebut. Namun, kompensasi yang mereka terima dari pihak tambang pasir hanya sebesar Rp 50 ribu per rumah. Tentu, angka ini tidak sebanding dengan dampak yang mereka alami.
Warga mengungkapkan bahwa sejak musim kemarau tiba, kondisi jalan yang rusak dan berdebu semakin parah, menyebabkan banyak warga menderita masalah pernapasan. Anak-anak dan lansia di dusun tersebut sering mengalami batuk, pilek, dan sesak napas.
Pada awalnya, hubungan antara warga dan pengusaha tambang pasir terlihat baik. Namun, para pengusaha tambang pasir hanya melakukan perbaikan jalan pada awal penambangan pada tahun 2017. Seiring berjalannya waktu, mereka tampak mengabaikan perbaikan infrastruktur yang diperlukan. Akibatnya, warga kesal dan akhirnya menutup akses jalan desa mereka sebagai bentuk protes.
Seorang warga, Agus, mengatakan, “Lama sekali mas jalan ini diperbaiki. Sebenarnya baik-baik saja hubungan dengan warga tapi kalau protesnya sendiri-sendiri pasti preman-preman tambang juga langsung bertindak, makanya ini sama-sama”. (ted)