Jakarta (pilar.id) – Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong, menyatakan bahwa peraturan mengenai Hak Penerbit yang sedang dirancang oleh pemerintah tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak.
Dalam sebuah diskusi daring, Usman mengungkapkan bahwa pemerintah telah berusaha keras selama kurang lebih satu tahun terakhir untuk mencari titik temu dengan berbagai pihak, termasuk platform digital terkait regulasi ini.
Salah satu poin perdebatan terjadi ketika platform digital mempermasalahkan salah satu pasal dalam rancangan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Hak Penerbit.
Mereka awalnya menolak pasal yang mengharuskan mereka menyaring berita sesuai dengan kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers.
Platform berpendapat bahwa mereka belum memiliki algoritma untuk melakukan seleksi semacam itu dan menganggap tugas tersebut bukan bagian dari tanggung jawab mereka sebagai platform.
Namun, setelah berdiskusi, akhirnya disepakati untuk menambahkan satu pasal dalam rancangan Perpres yang menyatakan bahwa platform tidak boleh menyalurkan berita yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik melalui mekanisme pelaporan.
Pelaporan dapat dilakukan oleh Dewan Pers, perusahaan pers, maupun masyarakat. Jika ada berita yang melanggar kode etik jurnalistik, platform digital harus menghapusnya dari daftar berita mereka.
Usman menyatakan bahwa mencari titik tengah dalam regulasi ini sangat tergantung pada kemauan semua pihak untuk saling memahami satu sama lain dan tidak memaksakan gagasan yang harus diterima oleh pihak lain, termasuk platform digital.
Sebagai latar belakang, pemerintah tengah menyusun rancangan Perpres mengenai Hak Penerbit, yang akan mengatur konten-konten berita yang dihasilkan oleh perusahaan pers. Platform digital akan bertanggung jawab melakukan penyaringan untuk mengenali konten yang berupa berita dan kemudian akan mengkomersialkannya.
Namun, Google, sebagai salah satu platform digital, telah menyampaikan keberatannya terhadap rancangan Perpres tersebut. Google khawatir bahwa regulasi ini dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi publik dan berpengaruh pada kemampuan mereka untuk menyediakan informasi online yang relevan, kredibel, dan beragam bagi pengguna produk Google di Indonesia. (hdl)