Jakarta (pilar.id) – Puluhan pekerja migran Indonesia (PMI) yang disekap di Kamboja adalah wujud masih lemahnya pengawasan dari pemerintah, persoalan pengawasan tersebut meliputi kebijakan dan implementasi.
Koordinator Departemen Advokasi Dewan Pimpinan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia (DPN SBMI), Juwarih mengatakan, dalam hal kebijakan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sering berargumen bahwa persoalan utamanya adalah kurangnya sumber daya manusia (SDM) pengawas.
Tetapi ketika masyarakat sipil termasuk SBMI mengusulkan melalui usulan draft rancangan peraturan pemerintah (RPP) Pengawasan, agar melibatkan masyarakat sipil. Namun, usulan tersebut ditolak secara halus dengan bahasa dapat mengikutsertakan masyarakat (Pasal 90 PP 59/2021).
“Jika kebijakannya saja demikian, maka kita dapat membayangkan bagaimana implementasinya,” kata Juwarih kepada pilar.id, Sabtu (30/7/2022).
Merujuk pada data kasus tahun 2020, pada saat itu SBMI menerima pengaduan dari PMI yang bekerja di Kamboja sebanyak 127 kasus. Mereka ditempatkan secara unprosedur oleh jejaring mafia yang terstruktur di dalam dan luar negeri.
SBMI menilai penempatan PMI ke negara-negara yang tidak memiliki perjanjian antar pemerintah (bilateral agreemant) salah satunya Kambodia, memang menunjukkan bahwa pelindungan PMI pada fase sebelum dan setelah bekerja sangat lemah.
Berdasarkan Pasal 8 Angka 3 huruf a, salah satu bentuk pelindungan itu pemberian sosialisasi dan diseminasi informasi. Dalam hal diseminsai informasi, Pasal 39 huruf d, pemerintah pusat (Kemnaker) ditugasi untuk membentuk dan membangun Sistem Informasi Terpadu.
Namun hingga saat ini, sistem ini belum terbangun. Padahal ini sangat penting sekali bagi calon PMI yang ingin bekerja ke luar negeri. Walhasil, para calon PMI, banyak yang terjerat oleh informasi menipu dari para calo melalui sosial media maupun secara langsung.
“Sebenarnya Indonesia punya banyak best praktis dalam layanan informasi, sebagai contoh, dulu kita membeli tiket melalui jasa para calo, namun setelah ada aplikasi traveloka atau tiket.com, konsumen dapat membeli langsung tanpa melalui para calo,” kata dia.
Di sisi lain, kata Juwarih, pihak Imigrasi harus disorot dalam proses penempatan unprosedur atau ilegal ke luar negeri, baik pada saat penerbitan paspor ataupun pada saat pemeriksaan di tempat pemeriksaan Imigrasi. Pintu ini sudah jebol.
Dulu pada tahun 2017, Dirjen Imigrasi pernah meneribtkan Surat Edaran Nomor IMI-0277.GR.02.06 Tahun 2017 tentang Pencegahan Tenaga Kerja Indonesia Nonprosedural. Aturan ini harus diterbitkan ulang, mengingat penempatan nonprosedur ke negara-negara timur tengah dan Asia Pasifik sedang marak kembali.
“ntinya memerintahkan kepada Kadiv Keimigrasian untuk melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan teknis keimigrasian dalam proses penerbitan paspor dan pemeriksaan keimigrasian di tempat pemeriksaan Imigrasi.
“Plt Dirjen Imigrasi sekarang harus membuat keputusan yang lebih kuat dari SE Dirjen Imigrasi tahun 2017,” tegasnya. (her/hdl)