Restorative justice adalah suatu pendekatan dalam penyelesaian konflik atau kejahatan yang memfokuskan pada pemulihan dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Pendekatan ini bertujuan untuk menggantikan sistem hukuman yang hanya memperburuk kondisi dan membawa dampak negatif bagi pelaku, korban, dan masyarakat.
Restorative justice mendorong pelaku untuk mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas tindakan mereka, serta melakukan tindakan yang dapat memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh kejahatan.
Di sisi lain, korban diberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dan pengalaman mereka, serta mengajukan permintaan maaf atau tindakan pengganti atas kerugian yang diderita.
Restorative justice juga melibatkan masyarakat dalam proses pemulihan, dengan tujuan untuk membangun lingkungan yang lebih baik dan mencegah kejahatan di masa depan.
Hal ini dilakukan dengan cara melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan dan memberikan dukungan untuk semua pihak yang terlibat dalam proses restoratif.
Restorative justice jadi wacana yang berkembang pesat beberapa tahun terakhir. Wacana ini sendiri sebenarnya sudah tumbuh sejak 1970-an, saat Howard Zehr, mengemukakan bahwa restorative justice merupakan suatu pendekatan yang fokus pada kerusakan dan perbaikan yang terjadi akibat kejahatan, serta memungkinkan semua pihak terlibat untuk menyampaikan pandangan dan kebutuhan mereka.
Howard Zehr dikenal sebagai profesor emeritus di Eastern Mennonite University di Harrisonburg, Virginia, Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai salah satu pendiri gerakan restorative justice modern.
Zehr lahir pada tahun 1944 di Indiana, Amerika Serikat dan memperoleh gelar sarjana di bidang sosiologi dari Morehead State University. Ia kemudian melanjutkan studi pascasarjana di bidang sosiologi di University of Chicago, dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1974.
Zehr dikenal sebagai pionir gerakan restorative justice karena karyanya dalam mengembangkan konsep retributive justice dan restorative justice.
Ia memperkenalkan konsep restorative justice pada tahun 1970-an dan 1980-an melalui bukunya yang berjudul Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1990.
Buku ini menjadi salah satu karya terpenting dalam bidang restorative justice dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.
Zehr juga aktif dalam mempromosikan restorative justice secara internasional dan telah memberikan pelatihan dan konsultasi tentang restorative justice di berbagai negara di seluruh dunia.
Ia juga mendirikan Zehr Institute for Restorative Justice, yang bertujuan untuk mempromosikan prinsip-prinsip restorative justice dan memberikan pelatihan untuk praktisi restorative justice di seluruh dunia.
Karya-karya Howard Zehr yang lain antara lain The Little Book of Restorative Justice, Doing Life: Reflections of Men and Women Serving Life Sentences, dan Critical Issues in Restorative Justice.
Howard Zehr dianggap sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam gerakan restorative justice dan telah mempengaruhi banyak praktisi dan pembuat kebijakan di seluruh dunia.
Suatu saat Howard Zehr mengatakan bahwa konsep restorative justice lahir dari ketidakpuasan terhadap sistem peradilan pidana yang ada pada saat itu, yang dianggap cenderung mengedepankan hukuman dan pemidanaan tanpa memperhatikan perbaikan dan pemulihan korban, pelaku, dan masyarakat.
Zehr merespons kondisi ini dengan mengembangkan konsep restorative justice sebagai alternatif yang lebih berfokus pada pemulihan, rekonsiliasi, dan partisipasi aktif dari semua pihak yang terlibat dalam kejahatan.
Namun, saat Zehr mengemukakan konsep restorative justice, tidak ada kasus hukum tertentu yang menjadi dasar atau contoh dalam pemikirannya.
Zehr lebih mengembangkan konsep restorative justice sebagai suatu alternatif yang lebih manusiawi dan berfokus pada pemulihan daripada pemidanaan, sehingga bisa diterapkan pada berbagai kasus kejahatan.
Sejak saat itu, konsep restorative justice telah diaplikasikan pada berbagai konteks kasus kejahatan, termasuk kejahatan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
Restorative justice dapat diterapkan dalam berbagai tingkat kasus hukum, mulai dari kasus yang ringan hingga kasus yang kompleks dan berat.
Beberapa kasus restorative justice yang kemudian menjadi perbincangan dunia karena berhasil mencapai rekonsiliasi dan pemulihan antara korban, pelaku, dan masyarakat di antaranya adalah Kasus Victoria Climbie.
Kasus Victoria Climbie adalah kasus kekerasan terhadap anak yang sangat menyedihkan di Inggris pada tahun 2000. Victoria Climbie adalah seorang gadis kecil berusia delapan tahun yang dianiaya secara brutal oleh bibinya dan pacarnya.
Ia akhirnya meninggal karena luka-luka yang dideritanya. Setelah kasus ini, pemerintah Inggris memperkenalkan restorative justice untuk membantu keluarga Climbie dalam proses pemulihan.
Restorative justice ini melibatkan para pelaku, keluarga Climbie, dan masyarakat setempat. Setelah pertemuan restorative justice tersebut, keluarga Climbie merasa bahwa mereka mendapatkan keadilan dan rekonsiliasi dengan para pelaku.
Kasus lain adalah Rwanda 1994, konflik etnis terburuk di Afrika. Restorative justice digunakan untuk membantu memulihkan hubungan antara kelompok Hutu dan Tutsi setelah konflik tersebut.
Restorative justice ini melibatkan pelaku dan korban, serta masyarakat setempat, dan berhasil mencapai rekonsiliasi dan perdamaian antara kedua kelompok.
Kemudian kasus kekerasan seksual di Australia pada tahun 2016. Proyek restorative justice diluncurkan untuk membantu korban kekerasan seksual. Restorative justice ini melibatkan para pelaku dan korban, serta psikolog dan konselor. Proyek ini mendapat banyak dukungan dari masyarakat dan berhasil mencapai hasil yang positif dalam membantu korban dan pelaku.
Di Indonesia, gagasan restorative justice dilakukan, di antaranya pada tahun 2019, saat seorang pelajar SMA di Jakarta dituduh melakukan tindakan bullying terhadap teman sekelasnya.
Kasus ini kemudian diatasi melalui restorative justice, di mana pelaku dan korban bersama-sama berbicara dan mencari solusi untuk masalah tersebut.
Selain itu pada tahun 2018, polisi di Jakarta Barat menggunakan restorative justice dalam penanganan kasus perkelahian antara dua kelompok pemuda. Pelaku dan korban diminta untuk bertemu dan membicarakan masalah tersebut secara damai dan mencari solusi bersama-sama.
Restorative justice dinilai bisa membuat hukum berjalan lebih baik karena fokusnya yang lebih pada pemulihan, rekonsiliasi, dan partisipasi aktif dari semua pihak yang terlibat dalam kejahatan, termasuk korban, pelaku, dan masyarakat.
Beberapa keuntungan restorative justice adalah membangun kepercayaan antara korban dan pelaku, memperbaiki hubungan pelaku dengan masyarakat, dan menghindari efek samping dari hukuman.
Restorative justice dianggap mampu membantu menghindari efek samping dari hukuman, seperti stigma sosial dan pengangguran, yang seringkali dialami oleh pelaku setelah dipidana. Restorative justice bisa membantu pelaku memperbaiki diri dan memulihkan hubungan dengan masyarakat sehingga lebih sedikit terjadi kriminalitas berulang.
Namun, restorative justice juga memiliki beberapa kritik dan tantangan, seperti kesulitan dalam memastikan partisipasi sukarela dari semua pihak yang terlibat dan risiko kurangnya keadilan bagi korban dalam kasus-kasus yang melibatkan pelaku yang tidak kooperatif.
Perlu diingat, di setiap kasus hukum, korban adalah pihak yang paling dirugikan dan merasakan dampak paling besar dari tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa keadilan bagi korban terpenuhi.
Namun, dalam penerapan restorative justice, ada risiko bahwa keadilan bagi korban tidak terpenuhi dengan baik. Hal ini bisa terjadi jika pelaku tidak kooperatif atau jika korban tidak merasa puas dengan hasil dari restorative justice.
Untuk meminimalkan risiko ini, penting untuk memastikan bahwa restorative justice dilakukan dengan hati-hati dan adil bagi semua pihak yang terlibat.
Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan partisipasi sukarela dari semua pihak, memperhatikan kepentingan dan kebutuhan korban, dan melibatkan ahli psikologi dan konselor untuk membantu memfasilitasi proses restorative justice.
Selain itu, penting juga untuk menyadari bahwa restorative justice bukanlah satu-satunya cara untuk menjamin keadilan bagi korban.
Ada banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk memastikan bahwa korban mendapatkan keadilan, seperti dengan memberikan kompensasi materi dan imateri kepada korban, mengadili pelaku secara adil, dan memberikan dukungan dan layanan yang dibutuhkan oleh korban untuk memulihkan diri.