Jakarta (pilar.id) – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja belum berpihak pada kepentingan buruh. Khusus di klaster ketenagakerjaan, setidaknya ada 9 isu yang disorot oleh buruh, yaitu tentang pengaturan upah minimum, outsourcing, buruh kontrak, PHK, pesangon, waktu kerja, istirahat atau cuti, sanksi, hingga tenaga kerja asing.
Terkait dengan pengaturan mengenai upah minimum, Said melihat ada 4 persoalan. Pertama, di dalam UU Cipta Kerja terdapat pasal yang menyebutkan bahwa gubernur dapat menetapkan kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Menurut Said, dengan menggunakan kata ‘dapat’, maka artinya UMK bisa ditetapkan dan bisa juga tidak oleh guberur.
“Kami meminta kata ‘dapat’ dihapuskan, sehingga bunyinya di dalam Perppu menjadi: Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota,” kata Said, di Jakarta, Rabu (4/1/2022).
Kedua, di dalam UU No 13 Tahun 2003 disebutkan mengenai kenaikan upah minimum berdasarkan survey kebutuhan hidup layak. Namun, ketentuan tersebut diubah dalam aturan turunan UU 13/2003, yaitu PP 78/2015 yang menyebutkan, formula kenaikannya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Tetapi dalam UU Cipta Kerja menjadi tidak jelas, karena menggunakan formula inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Kata ‘atau’, berarti opsional. Hanya dipilih salah satu,” ujar Said.
Menurut Said, formula kenaikan upah minimum menjadi semakin tidak jelas dalam UU Cipta Kerja. Karena, kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan variable indeks tertentu. Seharusnya cukup berbunyi, kenaikan upah minimum didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tidak perlu menggunakan kalimat ‘indeks tertentu’ yang justru membuat tidak jelas.
Persoalan selanjutnya, adanya pasal baru yang mengatur dalam keadaan ekonomi dan keadaan ketenagakerjaan tertentu, formula kenaikan upah minimum bisa berubah. Pasal ini dianggap semakin membingungkan, karena bertentangan dengan ketentuan sebelumnya yang mengatur formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.
Presiden Partai Buruh itu menduga, ketentuan ini hanya berlaku bagi perusahaan yang tidak mampu menaikkan upah dalam keadaan krisis ekonomi. Karena itu, pemerintah menggunakan kalimat formulanya akan diubah. Tetapi harus disadari, dalam keadaan krisis pun masih ada juga perusahaan yang mampu membayar kenaikan upah minimum.
“Seharusnya bukan formulanya yang diubah. Tetapi ada kebijakan, bagi perusahaan yang benar-benar tidak mampu bisa mengajukan penangguhan dengan disertai bukti tertulis dalam kondisi merugi dua tahun berturut-turut,” katanya.
Point terakhir, soal dihapusnya upah minimum sektoral. Partai Buruh menolak kebijakan tersebut, dan meminta agar upah minimum sektoral tetap diberlakukan.
Said menambahkan, dalam UU Cipta Kerja masih memperbolehkan adanya tenaga alih daya atau outsourcing. Meski penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya akan ditentukan oleh pemerintah, tetapi tidak jelas pembatasannya.
“Partai Buruh menilai pasal outsourcing harus kembali kepada UU No 13 Tahun 2003. Ada kegiatan pokok dan penunjang, yang boleh menggunakan outsourcing hanya di pekerjaan penunjang.
Itu pun hanya dibatasi untuk 5 jenis pekerjaan. Catering, security, driver, cleaning service, dan penunjang perminyakan,” ujarnya. (ach/din)