Jakarta (pilar.id) – Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Bidang Manajemen Hutan Prof Sudarsono Soedomo mengatakan, PT Duta Palma Group sudah berusaha untuk memenuhi semua ketentuan yang berlaku terkait perizinan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Ia menduga, Kejaksaan sebenarnya tidak tahu persis persoalan kawasan hutan.
“Duta Palma termasuk yang paling segera mengurus penyelesaian areanya,” kata Sudarsono, di Jakarta, Jumat (17/2/2023).
Untuk itu, Sudarsono menyarankan para penegak hukum untuk memahami betul kawasan hutan dan mengikuti peraturan dengan benar. Sehingga, ke depan tidak ada manipulasi dan interpretasi yang aneh. “Dari segi itu, pelanggaran kawasan hutan itu tidak ada. Sehingga menghitung-hitung kerugian segala macam itu, ngapain?” kata dia.
Sudarsono mengatakan, dalam kasus PT Duta Palma Group, seharusnya cukup diselesaikan secara administrasi apabila terjadi pelanggaran. Selain itu, perusahaan tersebut paling berat dapat dikenakan Pasal 110A UU Cipta Kerja yang telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang atau Perppu-nya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), pada 30 Desember 2022 lalu.
“Kalau saya, sudah jelas itu tidak perlu ke arah pidana. Cukup Pasal 110 A. Itu pun bagi saya sudah terlalu berat. Karena sebetulnya, tidak ada pelanggaran,” tegasnya.
Sudarsono memaparkan, kasus Duta Palma ini bermula dari penggunaan lahan pada Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang konon termasuk kawasan hutan. Padahal, sangat jelas bahwa pembentukan Peta TGHK itu belum melalui proses tata batas yang merupakan syarat pembentukan suatu kawasan hutan.
Peta TGHK itu umumnya dijadikan lampiran surat keputusan penunjukan kawasan hutan. Sebelum tahun 1999, syarat pembentukan kawasan hutan dapat dilihat pada UU 5 tahun 1967 dan PP 33 tahun 1970.
Kemudian, setelah tahun 1999, syarat tersebut dinyatakan secara eksplisit di Pasal 15 UU 41 tahun 1999 dan PP 44 tahun 2004 yang kemudian dicabut dengan PP 23 tahun 2021. Menurutnya, bukti kawasan hutan itu adalah peta tata batas yang disertai dengan Berita Acara Tata Batas.
“Kalau tidak mampu menunjukkan bukti tersebut, maka itu klaim bodong. Sejauh tentang penggunaan lahan, kasus Duta Palma ini jauh dari kasus pidana,” papar Sudarsono.
Ia menyebut, areal yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mencapai 2/3 daratan Indonesia atau kurang lebih 120 juta hektar. Tetapi sumbangan sektor kehutanan terhadap produk domestik bruto (PDB) selama beberapa tahun terakhir kurang dari 1 persen. Secara ekonomi, kehutanan itu sektor desimal.
“Bagaimana mungkin Duta Palma yang hanya menggunakan areal kurang dari 40 ribu hektar dapat merugikan negara sampai puluhan triliun? Sementara, dengan menguasai 120 juta hektar, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) per tahun kurang dari Rp6 triliun. Selanjutnya, anggaran sektor kehutanan sekitar Rp7 triliun sampai Rp8 triliun per tahun,” papar Sudarsono.
Sektor kehutanan, lanjut Sudarsono, sebenarnya beban bagi rakyat Indonesia. Saat ini, terdapat puluhan juta hektar areal yang diklaim sebagai kawasan hutan dalam keadaan tidak produktif, tetapi tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain yang lebih produktif. “Inilah yang sesungguhnya merugikan negara,” katanya.
Untuk diketahui, Menteri Kehutanan sudah mengeluarkan SK531 Tahun 2021 tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang sudah terbangun dalam kawasan hutan, tetapi tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan. Di sana disebutkan, ada 1.189 perusahaan yang serupa dengan kasus Duta Palma.
Terkait hal tersebut, kata Sudarsono, jaksa harus periksa semuanya kalau memang mau adil. Tetapi, jika semuanya tutup karena dipidanakan dan disita semuanya, maka ekonomi negara berpotensi akan bangkrut. “Kalau kehutanan dan kejaksaan mau membangkrutkan negara ya silakan saja. Tetapi pasti rakyat akan melawan,” kata dia. (ach/hdl)