Yogyakarta (pilar.id) – Empat hektare. Itulah luas kawasan pemakaman Panembahan Bodho di Kalurahan Wijirejo, Kepanewon Pandak, Kabupaten Bantul.
Pintu masuk area pemakaman Panembahan Bodho yang berupa gapura tinggi dengan ornamen warna hijau lebih mirip seperti pintu gerbang menuju ruang serbaguna atau malah balai desa.
Tepat setelah melewati gapura, ada lorong bercabang yang menghubungkan berbagai bangunan pemakaman dan aula-aula kecil yang tersebar di beberapa bagian.
Lorong-lorong tersebut bersambung dari gapura hingga bagian belakang dan semuanya tertutup atap. Area pemakaman ini, menjadi tempat beristirahat sosk Panembahan Bodho yang dalam kisahnya, disebut sebagai tokoh yang menyebarkan ajaran agama islam di Kepanewon Pandak, Kabupaten Bantul.
Penambahan Bodho sendiri disebutkan memiliki nama asli Raden Trenggana dan disebut juga sebagai salah satu murid dari Sunan Kalijaga. Bahkan, nama Panembahan Bodho tersebut dikisahkan juga berasal langsung dari pemberian Sunan Kalijaga.
Menurut sejarah, julukan Panembahan Bodho ini tersemat dari Sunan Kalijaga karena Raden Trenggana mengira suara ombak di Pantai Selatan menjadi tanda pesisir Pantai Selatan akan diserang dengan meriam Portugis. Panembahan Bodho pun telah mendirikan pos penjagaan dan mendapatkan ‘hadiah’ sebutan dari Sunan Kalijaga.
Kata Bodho ini berarti bodoh dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, sumber lain mengatakan julukan ini diperoleh karena Panembahan Bodho memilih menyebarkan siar Islam daripada mewarisi tahta Adipati atau Gubernur di Terung Sidoarjo yang merupakan bagian dari Kadipaten Majapahit terakhir.
Kemudian, sekitar tahun 1600 Panembahan Bodho meninggal dan dimakamkan di kompleks pemakaman seluas empat hektar yang disebut Pesarean Makam Sewu. Kata Sewu yang berarti seribu mengandung makna tidak terbatas dan banyaknya makam ditempat ini.
Sebenarnya, dahulu hanya menjadi pemakaman Panembahan Bodho seorang. Namun seiring berjalannya waktu, lahan yang luas membuat anak cucu hingga masyarakat umum menggunakan makam yang tepat berada Desa Pedak, Wijirejo, Pandak, Bantul ini.
Acara Tahunan Nyadran Makam Sewu
Sebagai bentuk hormat dan bakti, setiap tahunnya pada tanggal 20 bulan Ruwah atau Syaban masyarakat setempat menggelar kegiatan turun temurun yang disebut upacara adat tradisi Nyadran Makam Sewu. Upacara ini dilakukan dengan berziarah kepada para leluhur terutama Panembahan Bodho.
Ritual tersebut selalu dibarengi dengan sedekah dalam bentuk ubo rampe kenduri. Saat ini, event ini semakin menjadi daya tarik dengan aksi ngarak jodhang dimana terdapat arak-arakan pasukan keprajuritan atau bregada untuk mengawal rombongan kesenian yang membawa sedekah hasil bumi dan ubo rampe kenduri dalam jodhang.
Selain saat menjelang Ramadhan, makam ini juga ramai dikunjungi wisatawan sebagai wisata religi baik hari biasa maupun akhir pekan. (riz/fat)