Jakarta (pilar.id) – Tim Monitoring Efektivitas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dibentuk oleh Komnas HAM telah melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 22-25 Mei 2023.
Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk melakukan pemantauan terhadap implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO serta berkoordinasi dengan pemangku kepentingan, kelompok masyarakat sipil, dan korban TPPO.
Dalam kunjungan tersebut, Tim TPPO menemukan beberapa temuan sementara terkait permasalahan TPPO di Provinsi NTT.
Salah satunya adalah tingkat kerawanan yang tinggi terhadap tindak pidana perdagangan orang, terutama di daerah perbatasan.
Mayoritas pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja melalui jalur yang tidak prosedural juga menjadi indikator permasalahan tersebut.
Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) NTT mencatat adanya 120 pemulangan jenazah PMI asal NTT pada tahun 2022. Hingga 25 Mei 2023, sebanyak 56 jenazah PMI asal NTT telah dipulangkan melalui Bandara El Tari, Kupang.
Permasalahan TPPO di Provinsi NTT juga erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat.
Pemerintah Provinsi NTT telah mengeluarkan regulasi pencegahan dan penanganan TPPO melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2016, serta membentuk Satuan Tugas (Satgas) TPPO melalui Peraturan Gubernur Nomor 9 Tahun 2022.
Pemprov NTT juga telah membentuk Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk memutus mata rantai kejahatan TPPO di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di NTT.
Pola migrasi di wilayah NTT bersifat kultural dan tidak langsung, melainkan melalui wilayah transit seperti Batam, Entikong, Nunukan, Medan, Jakarta, Natuna, dan Surabaya. Oleh karena itu, penanganan TPPO di NTT memerlukan pendekatan yang khusus.
Temuan Tim TPPO juga mencakup aspek pencegahan, di mana belum ada koordinasi yang intensif antara Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menjadi penanggung jawab dalam Gugus Tugas TPPO.
Masalah ekonomi dan reintegrasi sosial yang belum berjalan dengan baik juga menjadi faktor potensi keberulangan kasus TPPO yang tinggi.
Selain itu, ketidakadaan anggaran untuk diseminasi dan sosialisasi tentang PMI dan TPPO menyebabkan penanganan kasus-kasus TPPO bersifat insidental dan sporadis.
Dalam aspek penegakan hukum, terdapat permasalahan seperti kurangnya kesamaan persepsi dalam penanganan TPPO di antara Aparat Penegak Hukum (APH), minimnya pelaporan kasus TPPO kepada APH, serta adanya pergeseran modus operandi TPPO yang menggunakan teknologi informasi.
Berdasarkan temuan tersebut, Komnas HAM merekomendasikan adanya evaluasi menyeluruh terhadap implementasi UU TPPO di tingkat pusat maupun daerah, memperkuat fungsi dan peran Satgas/Gugus Tugas TPPO di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, alokasi anggaran yang memadai, persamaan persepsi di antara APH, penguatan fungsi pencegahan melalui diseminasi dan sosialisasi, serta peran pemerintah desa dalam pencegahan TPPO.
Tim TPPO akan terus memantau dan melakukan tindakan lanjutan guna meningkatkan efektivitas pencegahan dan penanganan kasus TPPO di Provinsi NTT. (hdl)