Jakarta (pilar.id) – Mengutip pernyataan dari Food and Agriculture Organization (FAO), selama tahun 2021, bencana kelaparan tercatat telah menerjang sekitar 828 juta orang di seluruh dunia.
Kondisi ini, menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, kondisi ini merupakan gambaran nyata bahwa ancaman krisis pangan saat ini sudah semakin nyata.
“Jadi naik 46 juta orang dari tahun 2020, dan 150 juta orang dibanding 2019. Artinya pangan jadi komoditas penting sebelum, saat, dan pascapandemi,” kata Rizal, di Jakarta, Jumat (16/15/2022).
Rizal mengatakan, tantangan lainnya mahalnya pangan dan energi yang berimbas pada kenaikan harga pupuk. Di sisi lain, pelaku produksi pangan yang cenderung turun.
“Meskipun kemarin banyak pelaku usaha yang pandemi ini naik, tapi ternyata bukan di level hulu, tapi di level hilir atau bagian pemasaran,” kata Rizal.
Produktivitas yang cenderung stagnan, menurut Rizal, perlu inovasi dan rekayasa genetik bibit unggul. Untuk wilayah Indonesia, diperlukan bibit unggul yang adaptif terhadap suhu dan cuaca ekstrem.
Pasalnya, lanjut Rizal, tingkat produksi tanaman pangan dipengaruhi oleh curah hujan. Sementara, curah hujan yang tinggi justru terjadi di sentra-sentra tanaman pangan, terutama holtikulura. Padahal, tanaman holtikultura seperti cabai dan bawang merah berkontribusi terhadap inflasi.
“Jadi inflasi ini dorongannya bukan hanya konsumsi, tapi produksi juga yang dipengaruhi oleh curah hujan,” kata dia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) cabai, bawang merah, dan ikan menyebabkan inflasi harga bergejolak hingga 11,47 persen. Sementara inflasi inti hanya sebesar 2,86 persen, inflasi diatur pemerintah sebesar 6,51 persen, dan inflasi umum sebesar 4,96 persen.
Rizal menyayangkan, kinerja ekspor impor tanaman pangan sepanjang 2017-2021 negatif karena impor lebih banyak dibanding eskpor. “Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB tahun 2015-2021, lagi-lagi tanaman pangan yang kedua dibanding tanaman perkebunan,” kata dia. (ach/fat)