Surabaya (pilar.id) – Banyaknya sampah plastik jadi ancaman bagi kesehatan lingkungan. Salah satunya bersumber dari remahan plastik atau mikroplastik, partikel berukuran 100 nm hingga dengan 5 mm, yang mencemari tanah, air, dan udara kita.
Prigi Arisandi dari Ecoton menyebutkan, kontaminasi mikroplastik telah menjadi tantangan global, termasuk di Indonesia, akibat dari pengelolaan sampah plastik yang tidak tepat serta peningkatan jumlah sampah plastik yang terus meningkat.
“Bahkan manusia berpotensi menelan 5 gram mikroplastik setiap minggunya,” kata Prigi. Salah satu jalur masuk mikroplastik ke tubuh manusia, lanjut dia, adalah melalui udara.
Daur hidup atau lifecycle mikroplastik di udara yang berasal dari sumber-sumbernya akan masuk dan terus tetap dalam siklus hidrologi bahkan bisa memindahkan mikroplastik melalui awan sehingga diturunkan lewat hujan ke wilayah yang belum terjamah oleh aktivitas manusia sekalipun.
Biolog dan aktivis lingkungan hidup itu kemudian menjelaskan studi terkini yang menemukan keberadaan mikroplastik pada wilayah antartika sebanyak 22 partikel/L.
Sepanjang Juli hingga September 2021, Ecoton melaporkan kualitas udara di lima kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Disebutkan, udara yang sudah mengandung mikroplastik adalah Surabaya, Gresik, Mojokerto, Sidoarjo dan Jombang.
“Rata-rata kandungan mikroplastik di Surabaya sebanyak 13.86 partikel/2jam, Gresik 26.21 partikel/2jam, Mojokerto 11.45 partikel/2jam, Sidoarjo 218 partikel/2jam dan Jombang 16 partikel/2jam,” jelas Prigi.
Sumber pencemaran mikroplastik yang diidentifikasi berasal dari pengelolaan sampah plastik yang salah seperti dibakar di incenerator, tungku terbuka hingga di lahan terbuka.
“Selain itu juga asap dari industri terutama industri recycle plastik turut andil memperparah banyaknya mikroplastik di udara. Tidak hanya itu saja, baju yang berbahan serat sintetis juga menjadi penyumbang mikroplastik bahkan di tempat umum sekalipun,” tegasnya.
Adapun rata-rata mikroplastik yang terkandung di tempat publik sebanyak 14.04 partikel/2jam, incenerator 10.5 partikel/2jam, industri 225.33 partikel/2jam, tungku terbuka 12.5 partikel/2jam, dan pembakaran terbuka 30 partikel/2jam.
Jenis mikroplastik yang didapat, lanjut Prigi, ada 3 jenis. Yakni 76 persen fiber, 17 persen filamen, dan 7 persen fragmen. Fiber merupakan jenis paling dominan yang biasanya berasal dari serat baju, pembakaran sampah medis seperti masker, atau bisa juga dari pembakaran sampah kain, popok dan pembalut.
Mikroplastik yang tersebar di udara dapat terhirup dan masuk ke sistem pernafasan seperti yang telah dilaporkan baru-baru ini, dimana mikroplastik teridentifikasi di 11 paru-paru manusia sebanyak 39 partikel.
Selain mikroplastik, zat-zat yang terkandung didalamnya akan terlepas ke lingkungan. Zat-zat tersebut dapat berpotensi berpindah ke tubuh manusia juga dan berefek ke kesehatan.
Zat-zat itu antara lain, BPA dan Phthalate yang berpotensi memicu kanker payudara, pubertas dini, diabetes, obesitas dan gangguan autisme.
Kemudian senyawa pengganggu hormon yang memicu gangguan kehamilan, gangguan tiroid, berat lahir kurang, asma dan kanker prostat.
Zat lain adalah senyawa penghambat nyala yang memicu penurunan IQ, gangguan hormon dan penurunan kesuburan. Lalu senyawa perflourinasi yang memicu kanker ginjal dan testis, menaikkan kolesterol, penurunan respon imun pada anak.
Untuk mengurangi kontaminasi mikroplastik di udara, Ecoton mendesak agar pemerintah menerapkan kebijakan pengurangan penggunaaan plastik sekali pakai di wilayahnya, mengawasi industri pencemar mikroplastik, tidak memperbanyak false solution technology seperti tungku terbuka di TPS melainkan lebih banyak untuk bisa membangun TPS3R, tidak menggunakan incinerator.
“Ecoton juga meminta agar pelaku industri mengurangi produksi berbahan plastik dan menggunakan filter membrane pada corong asap untuk mengurangi kontaminasi partikel mikroplastik di udara,” tandas Prigi.
Sementara untuk Masyarakat, Ecoton mengajak mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, lebih bijak memilih bahan yang ramah lingkungan seperti baju yang tidak berbahan serat sintetis dan tidak membakar sampah plastik. (hdl)