Jakarta (pilar.id) – Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) menyatakan, Badan Pengawas Obat dan Makanan sudah bekerja dengan baik. Karena, kasus pencemaran obat hanya terjadi pada spesifik sirup saja, dan tidak terjadi pada semua jenis produk obat dari industri farmasi lainnya.
“Hal ini menunjukkan mayoritas sistem kualitas produksi industri farmasi dan sistem pengawasan dan pembinaan BPOM sudah mayoritas berjalan baik,” kata Ketua Umum GPFI Tirto , di Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Tirto mengatakan, industri farmasi Indonesia memproduksi 90 persen dari total volume obat nasional dengan berbagai jenis tablet, sirup, injeksi, kapsul, inhalasi dan berbagai produk obat lainnya. Menurutnya, kasus cemaran obat sirup merupakan kejadian yang belum pernah terjadi dalam industri farmasi (IF) Indonesia selama lebih dari 40 tahun.
Selama ini, lanjut Tirto, pengawasan BPOM sudah termasuk yang sangat ketat di antara negara Asia. Karena, BPOM yang merupakan anggota Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PIC/S) telah menerapkan aturan sesuai dengan standar internasional untuk memastikan proses, keamanan sistem, hingga kualitas industri farmasi sesuai dengan panduan.
Industri farmasi nasional juga sudah melakukan proses produksi sesuai standar Cara Pembuatan Obat dengan Baik (CPOB). Karena itu, menurut Tirto, terjadinya cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) disebabkan karena dua hal.
Pertama, adanya pemalsuan bahan pelarut oleh oknum supplier kimia yang mengganti bahan PG menjadi EG/DEG. Industri farmasi, kata Tirto, telah memesan dan membayar dengan harga Propilen Glikol (PG) yang lebih tinggi, disertai dengan Certificate of Analysis PG dan drum berlabelkan PG, namun isinya telah dicampur EG.
Kedua, hasil produksi sirup obat jadi tidak diperiksa untuk kandungan EG/DEG. Karena, selama ini belum ada standar di dunia untuk pemeriksaan EG/DEG pada produk jadi obat.
Dengan demikian, GPFI menegaskan, pencemaran sirup bukan disebabkan oleh adanya problem yang sistemik pada sistem produksi industri farmasi atau sistem pengawasan BPOM. Hal itu terbukti dari data, hanya kurang dari 2 persen total obat yang beredar dalam kondisi tercemar.
“Hanya 5 persen dari ragam obat sirup yang sempat beredar dan tercemar. Dan lebih dari 94 persen obat sirup lainnya, layak dikonsumsi yang membuktikan bahwa kasus cemaran sirup adalah sebuah insiden dan bukan sistemik mayoritas,” tegas Tirto.
Namun, GPFI turut mengimbau seluruh industri farmasi, khususnya yang tergabung dalam asosiasi untuk segera melakukan pengujian ulang terhadap item obat sirup. Selain itu, GPFI juga meminta untuk melaporkan hasilnya kepada BPOM agar dilakukan verifikasi.
Menurut data per 15 Desember 2022, dari sekitar 2.400 item obat sirup yang diuji, sebanyak 335 item obat sirup telah dinyatakan oleh BPOM aman dan layak konsumsi. Karena belum ada panduan metode pemeriksaan EG/DEG pada produk jadi, maka GPFI mendukung agar Kemenkes berkolaborasi dengan BPOM dapat membuat farmakope panduan pemeriksaan EG/DEG yang harapannya bisa menjadi panduan pertama di dunia sehingga kejadian seperti ini tidak terjadi lagi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif GPFI Elfiano Rizaldi mendorong aparat penegak hukum untuk segera memproses dan menindak oknum pemasok yang menipu dan memalsukan bahan baku penolong kepada idustri farmasi.
Selain itu, ia juga mendorong otoritas kesehatan/obat untuk melakukan pembinaan kepada industri farmasi yang melakukan kelalaian atau ketidakdisiplinan dalam proses produksi obat sirup dengan mempertimbangkan prinsip ultimum remedium atas proses hukum yang sedang berjalan saat ini.
Prioritas lainnya, mempercepat proses pemeriksaan dengan detail kualitas dan keamanan semua produk obat sirup di Indonesia. Sehingga, obat sirup yang sangat dibutuhkan pasien dan masyarakat Indonesia segera tersedia di pasaran.
“Hingga saat ini sudah ada 340 jenis obat sirup yang telah dijamin keamananannya dan layak dikonsumsi masyarakat,” kata Elfiano.
Semua produk obat sirup yang telah diumumkan oleh BPOM dan telah tersedia di apotik dan toko obat berizin di seluruh Indonesia adalah obat sirup yang aman dan layak dikonsumsi masyarakat.
Berdasarkan semua pembelajaran kasus ini, Elfiano berpendapat GPFI perlu senantiasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis tentang penghentian, pemeriksaan atau penyediaan kembali obat sirup.
“Pengujian obat sirup dapat segera selesai dan masyarakat dapat kembali mengakses obat sirup tanpa rasa was-was, selama produk tersebut dibeli di apotek atau toko obat resmi,” tutur Elfiano.
Untuk diketahui, BPOM kembali menerbitkan hasil penelusuran dan tindak lanjut terhadap kejadian cemaran EG/DEG yang melebihi ambang batas aman pada sirup obat. Berdasarkan hasil verifikasi periode 15 hingga 27 Desember 2022, terdapat tambahan 176 produk yang telah memenuhi ketentuan.
“Dengan demikian, BPOM menyatakan 508 produk sirup obat dari 49 Industri Farmasi (IF) telah memenuhi ketentuan, dan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai,” kata Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito.
Sebelumnya, Penny menyatakan ogah disalahkan atas kasus gangguan ginjal akut yang merenggut ratusan anak-anak di Indonesia.
Menurutnya, institusinya selama ini sudah bekerja dengan baik. Ia juga mengaku sudah menjelaskan kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) bahwa BPOM telah menjalankan pekerjaannya sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku, termasuk menjelaskan tindakan yang sudah dilakukan, serta melakukan perbaikan.
“Jadi sudah ada solusinya, sudah ada keputusan komitmen bersama apabila itu ada langkah-langkah perbaikan. Bukan hanya mencari kesalahan,” kata dia. (ach/din)