Surabaya (pilar.id) – Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, memimpin upaya dalam mencegah perilaku fraud di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jatim. Gubernur Khofifah mengajak Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Indonesia Chapter untuk berkolaborasi dalam upaya ini.
Salah satu langkah konkrit yang akan diambil adalah mengundang ACFE sebagai narasumber khusus dalam program “ASN Belajar”. Dengan demikian, diharapkan para anggota ACFE dapat berbagi pengetahuan dan informasi terkait dengan perilaku kecurangan (fraud).
“Sebagai asosiasi yang fokus pada pendidikan dan pelatihan anti fraud, kami ingin berkolaborasi agar ACFE dapat berkontribusi sebagai narasumber dalam program ‘ASN Belajar’ guna mencegah perilaku fraud di kalangan ASN Jatim,” ujar Gubernur Khofifah usai National Anti Fraud Conference (NAFC) di Surabaya pada Kamis, 14 September.
Selain itu, Gubernur Khofifah juga menyatakan bahwa kolaborasi ini akan memperkuat sinergi antara berbagai pemangku kepentingan, terutama dalam memperkuat upaya pencegahan dan deteksi fraud melalui perencanaan kontrol internal yang lebih baik serta implementasi fraud control yang efektif.
“Momentum ini dapat menjadi fondasi penting dalam upaya pemberantasan korupsi secara komprehensif dan kolaboratif, sesuai dengan tema konferensi kali ini, ‘Jer Basuki Mawa Beya’ (tidak akan pernah ada keberhasilan tanpa pengorbanan), yang diambil dari moto pemerintah daerah Jawa Timur,” tegasnya.
Gubernur Khofifah juga mengungkapkan bahwa ACFE merupakan pilihan yang tepat sebagai narasumber program “ASN Belajar”, karena hal ini akan memberikan peluang bagi ASN untuk meningkatkan kompetensinya dalam lingkungan pemerintahan.
“Dengan wacana ini, saya berharap ASN akan terus memperbarui pemahaman mereka tentang potensi fraud yang semakin berkembang, termasuk upaya deteksi dan penyelidikan terhadap motif dan tindakan yang semakin canggih,” jelasnya.
Hingga saat ini, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah mengambil beberapa langkah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, termasuk partisipasi aktif dalam berbagai kegiatan anti korupsi bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kami juga terlibat dalam survei penilaian integritas yang bertujuan untuk memetakan potensi korupsi dengan melibatkan berbagai pihak, mulai dari ASN, non-ASN, pengguna layanan publik, hingga stakeholder seperti BPK, BPKP, APH, Lembaga legislatif, DPRD, pengusaha, advokat, jurnalis, lembaga donor, dan NGO anti korupsi,” papar Khofifah.
Ajakan ini juga sejalan dengan Peraturan Gubernur Jawa Timur nomor 74 tahun 2022 tentang rencana pengendalian kecurangan di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Khofifah berharap bahwa kerjasama ini segera terwujud, sehingga seluruh komponen di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dapat meningkatkan integritas mereka dan memperkuat sistem pengendalian internal.
Ia mengingatkan bahwa saatnya semua elemen bergandengan tangan dalam upaya pemberantasan korupsi dan perilaku fraud di seluruh tingkatan pemerintahan.
Pada acara ini, Gubernur Khofifah menerima penghargaan dari Presiden ACFE, Hery Subowo, sebagai apresiasi atas dukungannya terhadap penyelenggaraan National Anti Fraud Conference (NAFC).
Di sisi lain, Presiden ACFE, Hery Subowo, menekankan bahwa pengendalian fraud dapat dilakukan melalui tiga langkah, yaitu transformasi nilai, implementasi nilai, dan internalisasi. Keempat pilar pengendalian fraud mencakup pencegahan, deteksi, investigasi, dan tindak lanjut.
Berdasarkan laporan Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) berjudul “Asia-Pacific Occupational Fraud 2022, A Report to the Nations,” Indonesia berada di peringkat ke-4 sebagai negara dengan jumlah fraud tertinggi di tahun 2022, dengan 23 kasus tercatat. Jenis fraud yang paling dominan adalah korupsi (64 persen), penyalahgunaan aktiva/kekayaan negara & perusahaan (28,9 persen), dan fraud laporan keuangan (6,7 persen).
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Isma Yatun, juga memberikan apresiasi kepada ACFE Chapter Indonesia atas upayanya dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan pelatihan, diskusi, sertifikasi, dan workshop.
Menurutnya, di negara seperti Indonesia, di mana korupsi memiliki akar yang dalam dan bersifat sistemik, diperlukan kerja sama antar pemangku kepentingan untuk efektif dalam memerangi korupsi.
Korupsi, katanya, berdampak buruk pada pelayanan publik, meningkatkan kesenjangan sosial, menciptakan ketidakpuasan masyarakat, merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga negara, serta mengurangi kepercayaan investor.
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara dengan skor 34.
“Korupsi yang sudah merasuk dan bersifat sistemik, ditambah dengan adanya disrupsi digital, membuat perilaku korupsi semakin kompleks, luas, dan sulit terdeteksi,” ujarnya.
Namun, disrupsi digital juga membuka peluang baru untuk mengurangi perilaku koruptif, meningkatkan transparansi melalui teknologi baru, dan analisis data yang lebih cerdas.
“Ketika proses semakin canggih, skema korupsi juga semakin kompleks, dan teknologi semakin inovatif,” katanya.
Ia menegaskan bahwa sinergi dan komitmen dari berbagai pemangku kepentingan lintas sektor akan menjadi kunci keberhasilan dalam memerangi korupsi dan fraud di semua tingkatan pemerintahan.
“Ini saatnya membangun sinergi dan kolaborasi antara para pembuat kebijakan nasional, lembaga pengawasan dan pemeriksa eksternal, serta aparat penegak hukum melalui proses yang transparan dan efektif untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan pihak lainnya,” tutupnya.
Turut hadir dalam acara ini Kepala Perwakilan BPK Jatim, Karyadi, Wakil Presiden ACFE Indonesia Chapter, Indra Wijaya, dan Direktur Public Relations ACFE Indonesia Chapter, Alphonsa Animaharsi. (tok/ted)