Semarang (pilar.id) – Suara-suara perempuan nelayan di hari Perempuan Internasional 2023, disampaikan di jalanan, yakni di Jalan Pahlawan, depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Rabu 8 Maret 2023.
Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah, menerangkan bila keberadaan perempuan nelayan sangatlah penting di negara maritim ini.
Perempuan nelayan punya peran yang tak biasa-biasa saja, artinya sangat penting bagi perekonomian masyarakat yang bergerak di sektor perikanan.
Perempuan nelayan hadir di setiap lini dunia perikanan, mulai dari melaut, aktivitas produksi atau pengolahan hingga penjualan.
Sayangnya, kata Masnuah perempuan asal Kabupaten Demak itu, identitas pengakuan akan profesi terhadap perempuan nelayan masih sulit diakui.
Secara status sosial profesi nelayan dan berbagai usaha yang terkait masih dilekatkan identitasnya pada laki-laki (suami) mereka.
Keresahan itu makin rumit, tatkala keberadaan profesi perempuan nelayan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) ditulis sebagai ” ibu rumah tangga”.
“Padahal keseharian mereka bekerja sebagai perempuan nelayan ada yang melaut, petambak dan budidaya serta pengolah dan pemasar, juga sebagai tulang punggung keluarga,” ujar Masnuah.
Bencana itu Bernama Krisis Iklim
Masnuah menjelaskan kondisi hari-hari ini sangat mengerikan bagi kehidupan keluarga nelayan di pesisir oleh karena ancaman krisis iklim yang sudah nyata di depan mata.
“Tak hanya itu perempuan nelayan harus menghadapi tantangan dan ancaman krisis iklim dan kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan,” kata dia.
Namun, semua itu tidak menghalangi perempuan nelayan untuk terus berkarya.
“Mereka terus berkarya berproduksi dan membangun resiliensi “ketangguhan” secara kolektif di beberapa wilayah anggota Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) untuk tetap berdaulat,” kata Masnuah lebih lanjut.
PPNI ingin terus berkomitmen dan konsisten untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan nelayan.
“Dalam momen Hari Perempuan Internasional ini, kami meminta tanggung jawab negara untuk memastikan perlindungan yang seharusnya menjadi hak perempuan nelayan. Mulai dari kebutuhan pangan terpenuhi, ruang hidup yang layak , dan laut tetap menjadi sumber kehidupan masyarakat nelayan tanpa harus di rusak seperti di tambang dan di reklamasi yang dampaknya merugikan rakyat,” kata dia.
Pihaknya bersama perempuan nelayan tidak akan diam, dan akan terus bergerak, melawan pembangunan serakah yang tak ramah lingkungan, tujuannya untuk tetap menjaga dan merawat laut “Ibu”.
Seperti diketahui hari-hari ini makin banyak desa-desa di Kabupaten Demak yang terdampak abrasi oleh karena kebijakan pembangunan yang tak ramah lingkungan.
Misalnya, di Kecamatan Sayung, hingga ke Timur di wilayah Kecamatan Bonang. Rumah-rumah nelayan di pesisir Demak mulai direnggut abrasi laut.
Bahkan, masih ada lagi tanah-tanah sawah dan tambak di wilayah Kabupaten Demak lain yang juga mulai tenggelam dan sulit untuk digarap.
Hal ini lantaran, pembangunan yang tak ramah lingkungan, buruknya irigasi, tak adanya perhatian pemerintah setempat .
Contoh kasus yang mulai ditemui berada di wilayah Desa Onggorawe Kecamatan Sayung, banyak wilayah di Kecamatan Karengtengah yang dahulunya sawah kini menjadi rawa-rawa seperti di Desa Wonowoso, dan sekitarnya.
Sementara itu, harus ada pajak yang tetap dibayar oleh masyarakat, meskipun tanah mereka tak menghasilkan. (daz)