Jakarta (pilar.id) – Dalam upaya memahami dan mengidentifikasi kelompok ekstrem, studi terorisme sering mengacu pada teori 3N: Naratif, Need, dan Network. Dr. phil. Suratno Muchoeri, Direktur The Lead Institute Universitas Paramadina, menguraikan hal ini dalam webinar “Inspirasi Taqorrub-Ilalloh Lewat Kisah Perjalanan-Spiritual Para Tokoh: Edisi Mantan Ekstrimis” yang diadakan secara daring dari Jakarta.
Dr. Suratno mengilustrasikan bagaimana narasi, kebutuhan, dan jaringan memengaruhi proses radikalisasi. “Naratif umumnya menjadi landasan bagi kelompok ekstremis. Sebagai contoh, kelompok NII mengadopsi narasi ‘minazzulumat ila nur’ untuk menjustifikasi aksinya, dengan alasan bahwa NKRI dianggap sebagai thogut (kedzaliman) karena tidak berlandaskan Islam,” katanya.
“Istimewanya, faktor ‘need’ atau motif juga memainkan peran penting. Kebutuhan fisik dan psikis sering kali menjadi pemicu. Remaja yang terisolasi sosial mudah terpapar ekstremisme karena mereka mencari lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan ini. Sementara itu, kebutuhan akan kedamaian spiritual juga dapat mendorong seseorang untuk bergabung dengan kelompok ekstremis,” tambahnya.
Dr. Suratno juga menyoroti peran jaringan dalam proses radikalisasi. “Seringkali, individu terpapar oleh jaringan ekstremis melalui interaksi di tempat ibadah atau lingkungan sekitarnya. Ini terjadi pada kasus Kang MT (Matahari Timoer), yang setelah merasa kehilangan arah hidup, menemukan jaringan ekstremis di masjid,” paparnya.
Lebih lanjut, Dr. Suratno menjelaskan tentang faktor-faktor yang memengaruhi seseorang untuk keluar dari radikalisme. “Ada istilah ‘push factor’ dan ‘pull factor’. Meskipun ada dorongan internal, keputusan akhir untuk meninggalkan ekstremisme atau tidak tetap pada individu,” tegasnya.
Selain dari sudut pandang akademik, webinar ini juga menampilkan narasi langsung dari seorang mantan ekstremis, Matahari Timoer (Kang MT), yang berbagi pengalaman pribadinya. “Bagi saya, kehidupan dalam dunia ekstremisme seperti terjebak dalam labirin kegelapan. Namun, dorongan untuk mencari kebenaran akhirnya membawa saya keluar dari sana,” ungkap Kang MT.
Proses pemulihan dari ekstremisme, bagaimanapun, bukanlah hal yang mudah. “Saya menghadapi keraguan dan kebingungan. Melihat kontradiksi antara idealisme dan realitas, serta mencari kebenaran di luar lingkungan yang telah mengkotak-kotakkan pemikiran saya,” tambahnya.
Ancaman dan risiko juga menjadi hal yang harus dihadapi bagi mereka yang memutuskan untuk meninggalkan kelompok ekstremis. “Saya menghadapi ancaman dan bahkan nyawa saya dianggap tidak bernilai lagi. Namun, tekad untuk kembali kepada jalan yang benar tidak pernah goyah,” pungkas Kang MT.
Webinar ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang mendalam tentang dinamika radikalisasi dan peran kunci yang dimainkan oleh faktor-faktor seperti naratif, kebutuhan, dan jaringan dalam memahami dan mencegah ekstremisme. (riq/hdl)