Jakarta (pilar.id) – Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel mengungkapkan, ada dua teori tentang proses bagaimana seseorang, termasuk personel polisi, menggunakan senjata api.
Pernyataan Reza terkait kasus aksi saling tembak menembak antara polisi di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di Jakarta Selatan pada Jumat (8/7/2022). Brigadir J tewas ditembak oleh rekannya berinisial Bharada E.
Teori pertama, kata Reza, menjelaskan tentang sistem berpikir yang tertata atau teratur. Di lingkup kepolisian, ini diterjemahkan ke dalam sistem operasional prosedur (SOP).
SOP yang tertuang dalam teori pertama yaitu mulai dari penembakan ke ruang hampa, berlanjut kepada penembakan ke bagian tubuh tidak mematikan. Dan puncaknya adalah menembakkan ke bagian tubuh yang mematikan.
Alhasil mengacu pada teori pertama ini, penting diinvestigas penerapan SOP itu di lapangan.
“Coba cek peluru di ruang hampa, mengenai bagian mana? Lalu peluru yang mengenai ke bagian tubuh yang tidak mematikan di sebelah mana? Dan peluru mematikan ada di sebelah mana? Urutannya seperti apa kira-kira,” kata Reza kepada Pilar.id, Kamis (14/7/2022).
Di sisi lain ada teori kedua yang berlaku juga bagi personel kepolisian. Teori ini, menurutnya, memiliki pandangan dalam situasi kritis atau situasi genting yang tidak memungkinkan mengikuti SOPatau tahapan-tahapan seperti di teori pertama.
Reza mencontohkan kasus penembakan laskar FPI beberapa waktu yang lalu. Dalam situasi yang risikonya adalah hidup atau mati, maka muskil kiranya bagi siapapun, termasuk personel Polri untuk menembak menggunakan senjata api secara bertahap. Sudah tentu personel tersebut langsung menembak dan mengincar ke bagian tubuh yang dianggap bisa menghentikan lawan.
Kata dia, teori kedua akan tidak berlaku jika baku tembak yang terjadi menghabiskan 5-20 ke atas peluru. Karena kalau situasinya kritis atau genting, pasti akan terjadi dalam tempo sekejap dan memggunakan pelurunya yang sedikit.
“Bahwa tembak menembak pakai peluru yang banyak ini menandakan atau mengindikasikan durasinya rentang waktu kejadian cukup panjang,” jelasnya.
Sebab, lanjutnya, rentang waktu kejadian yang panjang tidak sesuai dengan kegentingan atau kritis yang memaksa karena berisiko hidup atau mati dalam sekejap. Dalam rentang waktu kejadian yang panjang semestinya personel polisi akan menerapkan SOP penggunaan senjata api.
“Kembali saya tegaskan, silakan diinvestigasi seberapa jauh tembak menembak di rimah Kadiv Propam tersebut, apakah sudah mencerminkan teori pertama? Apakah sudah merefleksikan adanya tahap demi tahap atau prosedur yang diterpakan oleh para personel di tempat kejadian perkara (TKP),” ujar Reza.
Brigadir J ditembak mati Bharada E, yang juga merupakan ajudan Irjen Ferdy Sambo pada Jumat (8/7/2022) sore. Penyebabnya, Brigadir J menembak terlebih dahulu ke arah Bharada E, sehingga dianggap membahayakan keselamatannya.
Peristiwa ini bermula dari adanya teriakan minta tolong oleh Putri dari kamarnya, yang mengaku dilecehkan dan ditodong pistol kepalanya oleh Brigadir J.
Bharada E yang mendengar teriakan Putri dari lantai dua rumah, bergegas ke sumber suara dan mendapati Brigadir J di depan pintu kamar Putri. Bharada E kemudian bertanya mengenai apa yang terjadi kepada Brigadir J. Namun, pertanyaan tersebut dibalas tembakan, sehingga baku tembak terjadi dan akhirnya Brigadir J tewas dengan tujuh luka tembak.
Pascakematian Brigadir J, timbul banyak pertanyaan dari keluarga dan masyarakat. Isinya keraguan dan merasa janggal terhadap peristiwa tersebut. Ini yang kemudian membuat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk tim khusus yang turut melibatkan pihak eksternal dari Kompolnas dan Komnas HAM.
“Karena memang terjadi baku tembak antara anggota dan anggota, dan kami juga mendapatkan banyak informasi terkait dengan berita-berita liar yang beredar yang tentunya kita juga ingin semuanya ini bisa tertangani dengan baik,” ujar Sigit. (her/din)