Surabaya (pilar.id) – Fenomena mengemis online di platform media sosial sedang marak. Perkembangan teknologi telah banyak mengubah masyarakat, salah satunya adalah migrasi ‘cara kerja’ para pengemis.
Kegiatan ini dilakukan oleh pembuat konten yang menggunakan dirinya sendiri dan orang lain untuk meminta sumbangan dari masyarakat.
Melihat fenomena tersebut, psikolog Universitas Airlangga Dr. Ike Herdiana berpendapat bahwa mengemis secara online merupakan fenomena sosial yang menghadirkan sajian yang menyentuh simpati media sehingga mendorong pemberian uang atau lainnya, dalam bentuk hadiah atau bantuan.
“Gagasan mandi lumpur, berendam di selokan, dan sejenisnya dimaksudkan untuk menyentuh simpati orang yang melihatnya. Selain itu, mereka juga menggunakan karakter yang termasuk dalam kelompok yang secara sosial tidak berdaya dan rentan di masyarakat kita,” katanya.
Ia juga melihat banyak masalah dalam fenomena ini, salah satunya adalah eksploitasi sekelompok orang yang lemah.
Mereka mencoba. memainkan psikologi masyarakat untuk menggerakkan hati pengguna media sosial untuk berdonasi. Yang umum terjadi, ketika bantuan tidak dapat diberikan secara langsung, digunakan untuk membuka saluran donasi online.
“Karena ada unsur eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan inilah yang kemudian menjadi larangan, yang dikeluarkan oleh pemerintah,” terang Ike.
Sangat disayangkan, banyak anak muda yang terlibat dalam pembuatan konten ini. Menurutnya, kegiatan ini dipicu tinjauan psikologis atas maraknya anak muda yang memilih gaya hidup sebagai produser konten dan melakukan segalanya demi konten.
Mereka mencoba hidup dengan coba-coba, ketika mereka mencoba konten dan mendapatkan respon yang baik, mereka mengeksplorasi lebih banyak konten serupa.
“Jika satu konten tidak beresonansi, mereka meninggalkannya dan mencari konten lain yang dapat menarik perhatian lebih banyak orang. Dan lebih mudah bagi masyarakat kita untuk merangsang emosi kita dengan konten yang ekstrim atau tidak biasa,” jelas Ike lagi.
Itu akan bertahan baginya selama ada banyak penikmat dan simpatisan dan diikuti dengan memberi. Pemerintah perlu mengatur dan mengedukasi masyarakat untuk membuat konten yang lebih positif.
Meminta sumbangan memang tidak dilarang, seperti yang dilakukan banyak tokoh publik lainnya, tetapi harus dilakukan dengan cara yang baik.
“Berbagi untuk pembuat konten itu baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Pecinta media sosial harus lebih selektif dalam mencari informasi seputar media sosial. Semua pengguna sama-sama kritis ketika berhadapan dengan fenomena sosial,” tutupnya. (ret/hdl)