Surabaya (pilar.id) – Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, meninggalkan sederet luka dan banyak catatan kelam. Karena kericuhan pascalaga Arema FC melawan Persebaya itu berujung dengan jatuhnya ratusan korban jiwa.
Menurut Afif Kurniawan MPsi, dosen di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, perhelatan olahraga harusnya tidak hanya sebagai ajang untuk memotivasi para atlet. Namun sebagai ajang untuk menggambarkan keragaman suatu daerah.
“Olahraga merupakan aktivitas yang iklimnya dilakukan dengan ajang kompetisi. Ada dua tim yang menampilkan permainan terbaiknya dan salah satunya akan keluar menjadi pemenang,” katanya.
Bagi para supporter, lanjut Afif, mendukung tim kebanggaan sama dengan menggambarkan nilai kedaerahan mereka dengan segala keunggulannya.
Dalam suatu pertandingan sepak bola ada tiga hasil pertandingan yang bisa didapatkan yaitu menang, seri, atau kalah. Hasil pertandingan inilah yang ternyata dapat memicu emosi timbul baik dari pemain atau suporter.
“Kemenangan atau kekalahan keduanya akan menimbulkan dampak emosi,” kata staf pelatih bidang pengembangan psikologi atlet Persebaya 2017 hingga 2020 tersebut.
Emosi yang muncul itu merupakan hal yang wajar terjadi. “Mereka terlibat langsung dalam drama di lapangan, terlibat langsung dalam nilai yang ada dalam kelompok mereka,” ujarnya. Emosi yang muncul dapat berupa perasaan sedih, senang, bahagia, gelisah, takut, cemas, khawatir, dan lainnya.
“Yang menjadi persoalan adalah bagaimana masyarakat memiliki edukasi yang tepat terkait dengan pengelolaan emosi. Menang atau kalah itu ada emosinya yang menjadi penentu adalah bagaimana cara meluapkan emosi. Jika berlebihan bisa memunculkan bahaya,” terang Afif.
Pasca tragedi di Kanjuruhan, banyak petisi bahkan tulisan untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Bahkan seperti gambaran tempat kejadian perkara yang beredar luas di media, banyak didapatkan tanda-tanda kesedihan, kemarahan, hingga kekecewaan yang disalurkan melalui tulisan oleh para suporter.
Menurut Afif, meninjau hal tersebut, ternyata terdapat teori personal identity dan social identity yang melekat pada diri suporter.
“Dalam konteks suporter ini akan dimaknai sebagai sebuah kebanggaan pribadi akan tim yang didukung. Tapi jika banyak orang punya personal identity yang sama maka akan menjadi social identity,” jelasnya.
Rasa kebanggan yang sama itulah, menurut Afif, yang akan memercikkan kesamaan rasa antar tiap individu dalam kelompok suporter. “Jadi mereka punya suatu rasa yang sama, memiliki pikir yang sama, dan pada saat itu terjadi akan muncul dukungan yang sangat besar,” tutur Afif.
Rasa yang sama ini pula yang akan menimbulkan emosi yang sama juga. Aksi dan reaksi akan diberikan oleh suatu kelompok jika ada sesuatu yang terjadi. “Mereka memiliki rasa, sebenarnya berempati satu sama lain. Mereka tidak ingin temannya disakiti sehingga membela,” pungkas Afif. (feb/hdl)