Jakarta (pilar.id) – Jelang Pemilu 2024, sejumlah diskusi mengenai demokrasi dan partai politik terus bermunculan. Salah satunya seperti diskusi bertajuk ‘Oligarki dalam Parpol dan Bahayanya bagi Demokrasi’ yang digelar melalui platform Twitter Space dengan moderator Septa Dinata beberapa waktu lalu.
Mantan Menko Kemaritiman, Dr. Rizal Ramli, dalam kesempatan itu mengungkap kekhawatirannya. Kata dia, banyak partai politik di Indonesia dikelola seolah-olah seperti CV yang tergantung pada Ketua Umum Partai.
Ia menyoroti bahwa setelah jatuhnya Orde Baru, para pejuang dan aktivis Reformasi 98 terlalu fokus pada kejatuhan Soeharto tanpa memperhatikan peran lembaga lain, termasuk partai politik.
Menurut Rizal, pada saat itu, banyak aktivis mahasiswa menuntut pembubaran partai politik pendukung Orde Baru dengan mengadakan demonstrasi di kantor Golkar dan partai lainnya. Namun, keinginan tersebut tidak terealisasi, dan sekarang terlihat bahwa saran tersebut sebenarnya memiliki kebenaran.
Rizal Ramli menyebutkan bahwa partai-partai tersebut semakin menunjukkan sifat yang tidak demokratis secara internal, di mana pengaruh ketua umum sangat dominan. Semua keputusan diatur oleh mereka, termasuk aliran dana yang sebagian besar masuk ke kantong ketua umum parpol bukan ke pendapatan resmi partai.
Partai politik di Indonesia mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber, termasuk anggaran pemerintah seperti APBN, APBD, dan BUMN. Namun, sebagian besar dana tersebut tidak masuk ke pendapatan resmi partai, melainkan ke kantong-kantong ketua umum parpol.
Rizal Ramli menegaskan bahwa hal-hal seperti itu tidak bisa lagi ditoleransi. Menurutnya, dalam konteks negara demokratis, partai politik memang diperlukan, tetapi pengelolaannya harus mengutamakan demokrasi internal. Semua keputusan dan kewenangan tidak boleh semata-mata berasal dari ketua umum parpol.
Saat ini, ketua umum parpol memiliki kekuasaan untuk memecat anggota-anggota DPR seenaknya. Hal ini membuat 575 anggota DPR hanya tunduk pada kehendak 9 atau 10 ketua umum. Rizal mengkritik bahwa ketua umum parpol sering mendapatkan keuntungan pribadi melalui proyek-proyek dan kredit yang diberikan oleh penguasa.
Rizal Ramli menyatakan bahwa sistem politik seperti itu dapat merusak demokrasi. Oleh karena itu, setelah masa kepemimpinan Jokowi, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan.
Pertama, Rizal menyarankan agar partai politik dibiayai oleh negara, seperti halnya di Eropa, Inggris, Selandia Baru, Australia, dan negara-negara Arab. Menurutnya, biaya tersebut tidak terlalu mahal, hanya sekitar Rp30 triliun per tahun. Namun, praktik saat ini menunjukkan bahwa partai politik justru “mencuri” lebih dari Rp75 triliun.
Selain itu, pembiayaan tersebut harus disertai dengan kewajiban untuk mengubah AD/ART partai politik guna menciptakan demokratisasi internal. Rizal menegaskan bahwa pengeluaran yang dibiayai oleh negara harus diaudit dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan kaderisasi, kampanye, dan organisasi partai politik. Penggunaan dana tersebut untuk kepentingan pribadi harus dihindari.
Rizal Ramli berpendapat bahwa setelah partai politik bersih dan demokratis, mereka akan menjadi pelopor dalam memperjuangkan keadilan, demokrasi, dan good governance dalam pemerintahan.
Dalam kesempatan yang sama, Afiq Naufal, Sekretaris Jenderal Serikat Mahasiswa (SEMA) Universitas Paramadina, mengungkapkan kegelisahan kaum muda terhadap dominasi oligarki dalam partai politik. Menurutnya, kaum muda merupakan pemilih terbanyak dalam Pemilu 2024, namun mereka merasa tidak nyaman dan bahkan alergi terhadap praktik politik yang terjadi saat ini.
Afiq menyoroti kurangnya pendidikan politik bagi kaum muda yang berdampak negatif pada stabilitas demokrasi di masa depan. Bagi kaum muda, demokrasi seharusnya menjadi suara rakyat yang merepresentasikan gagasan dan pikiran mereka.
Ia juga mengingatkan bahwa masih banyak orang yang terpaku pada figur atau kultus tertentu dalam dunia politik, bukan pada ide dan gagasan. Hal ini sangat berbahaya bagi demokrasi, karena demokrasi sejati seharusnya mengedepankan gagasan, ide, dan strategi masa depan Indonesia.
Diskusi tersebut menggarisbawahi pentingnya reformasi dalam partai politik Indonesia untuk mengatasi dominasi oligarki dan memperkuat demokrasi. Reformasi ini meliputi pembiayaan partai politik oleh negara, demokratisasi internal partai, dan peningkatan pendidikan politik bagi kaum muda. (hdl)