Surabaya (pilar.id) – Kekerasan seksual pada anak dan perempuan kian marak terjadi dan kasusnya kerap viral di sosial media.
Mulai dari pencabulan yang dilakukan anak tokoh ulama, hingga gadis 12 tahun yang telah terjangkit HIV.
Maka dari itu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melalui daring, membagikan cara atau tips dalam menangani korban dan memutus rantai kejahatan kekerasan seksual ini, pada Jumat (28/10/2022).
Pada sesi bincang yang mengundang dokter Baety Adhayati, selaku Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) serta Siti Hajar Rahmawati, selaku Pendamping psikologi dari Akara Perempuan, yang merupakan Lembaga Pendampingan Bagi Perempuan Korban Kekerasan.
Pada paparannya, dokter Baety menyampaikan jika ada 11 ribu kasus kekerasan pada anak dan 58,6 persen adalah kekerasan seksual pada anak. Lebih rendah dibanding dengan kekerasan seksual pada wanita, yaitu 15 persen dari 8 ribu kasus.
“Hal itu terjadi, karena orang dewasa lebih berani bersuara, sedangkan anak-anak masih belum punya kuasa untuk membela dirinya, atau bahkan tidak menyadari kalau dia korban kekerasan seksual,” ujarnya.
Namun data tersebut, menurut Beaty belum semua kasus, namun masih banyak kasus yang belum diketahui, dikarenakan korban takut melapor atau lingkungan sekitar yang tak mendukung korban mengadu.
Ia menyebut ada beberapa faktor yang mengakibatkan korban takut melapor dan lingkungan sekitar tak mendukung, yaitu adanya ancaman dari pelaku, relasi kuasa, seperti korban yang masih anak-anak dengan pelaku yang lebih tua.
Lalu stigma, bahwa korban sudah tak perawan dan masa depannya sudah hancur, hambatan psikologis, seperti takut atau menyalahkan diri sendiri, dan korban hamil, yang membuat korban malu dan enggan melapor.
“Masalah tidak perawan, bukanlah hal penting, yang terpenting adalah kondisi psikis korban dan penularan penyakit kelamin dari pelaku, itu yang harus dipikirkan orang tua atau lingkungan sekitarnya, makanya butuh diperiksa,” jabarnya.
Tak hanya itu, korban juga tak melapor karena berbagai faktor, seperti belum mengerti yang terjadi pada dirinya adalah tindak kejatahan, adanya hubungan kasih sayang, yang biasanya dialami oleh pasangan yang tak tega jika pelaku dipenjara atau dihukum.
“Ada juga korban yang belum bisa bercerita, seperti korban anak-anak, lalu korban hamil yang langsung dinikahkan oleh pelaku, itu sangat tidak disarankan, karena bisa memicu trauma berkelanjutan dan akan selamanya menjadi korban,” paparnya.
Melihat kondisi ini, dokter Beaty memaparkan langkah yang bisa dilakukan, agar kasus kekerasan tak lagi bertambah, diantaranya meningkatkan edukasi, dukungan dari lingkungan sekitar atau gerakan kelompok masyarakat
“Edukasi tingkat sekolah, sebaiknya dimasukkan kedalam kurikulum, karena ada kasus pihak sekolah bahkan tidak membolehkan korban melapor, karena dianggap tabu, serta sistem dan infrastruktur penanganan bagi korban, baik dari laporan hingga pendampingan,” sebutnya.
Hal serupa juga disebutkan oleh Siti Hajar Rahmawati, pendamping psikologi dari Akara Perempuan, jika sikap yang baik dalam menghadapi korban kekerasan baik seksual atau apapun, yaitu stop blaming atau menyalahkan dan menyayangkan apa yang terjadi.
“Seperti makanya kamu jangan pacaran, dan sebagainya, bahkan itu kerap dilakukan profesional juga, lalu cek dengan bertanya kabar secara berkala, dan ajak untuk mencari bantuan yang bisa membantu,” pungkasnya. (jel/hdl)