Jakarta (pilar.id) – Pengamat ekonomi dari Universitas Surakarta (UNSA) Agus Trihatmoko menilai, kenaikan harga daging sapi sudah melampaui rata-rata yang adil bagi konsumen. Pemerintan terkesan tidak serius untuk masalah ketahanan pangan dan tata-kelolannya.
Apabila dikomparasikan dengan harga 10 tahun lalu, hari ini harga daging sapi naik 2,5 kali lipat. Pemerintah selalu menggunakan kebijakan operasi pasar setiap terjadi gejolak harga, entah dalam kondisi normal atau hari raya. Boleh saja, dan memang harus dilakukan demi rakyat.
“Tetapi itu tidak pernah menyelesaikan masalah,” kata Agus, Rabu (2/3/2022).
Pencetus ekonomi murakabi ini bilang, seharusnya upaya ketahanan hingga kemandirian daging di Indonesia sudah beres dari awal pemerintahan Jokowi periode pertama. Lonjakan daging biasannya disebabkan karena kurangnya pasokan dalam negeri. Hal itu juga sering diperparah oleh kekuasaan harga para importir.
Selain dari itu, biaya produksi sapi dalam negeri terus meningkat. Salah satunya disebabkan oleh meningkatnya harga pakan dari industri. Dua pokok masalah tersebut harus diatasi dengan kebijakan komprehensif dan sinergitas di segala lini perekonomian agro dan peternakan.
“Kasus lonjakan daging hari ini menjadi lebih memprihatinkan bagi masyarakat menengah ke bawah,” ujarnya.
Di sisi lain, kenaikan minyak goreng, kedelai dan LPG akan memberat konsumen dan jalur kelompok usaha menengah kecil yang terkait.
Kegagalan tata kelola pangan dalam jangka pendek hanya bisa dilakukan segera dengan melakukan subsidi. Namun konsekuensinya, akan membebani APBN. Tapi mau tidak mau itu harus dilakukan demi rakyat. Tetapi solusi jangka panjang, pemerintah harus mulai memikirkamnya dari sekarang.
Dalam konteks pangan, sudah sampai di mana proyek-proyek food estate yang telah dianggarkan triliunan rupiah. Harusnya sekarang dapat menjadi salah satu jawaban masalah ketahanan pangan, termasuk daging.
Sekali lagi, Agus menegaskan, masalah pangan adalah masalah ekonomi dalam negeri, tidak tiba-tiba terkait perang Rusia dengan Ukraina, jika itu sejak 10 tahun terakhir dikerjakan dengan baik dan benar.
“Mari kita berkaca bersama bahwa apa yang menjadi slogan-slogan modernisasi dan transformasi ekonomi, da revolusi industri akan tak bermakna bagi rakyat kecil jika urusan pangan kita belum lulus,” pungkasnya. (her/hdl)