Surabaya (pilar.id) – Ramadhan baru saja berlalu. Meski demikian, banyak cerita yang terekam dan tetap menarik untuk dinikmati. Sebut saja pengalaman Bd Erni Rosita Dewi SKeb, alumni Kebidanan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga yang kini sedang menempuh studi S2 di Inggris.
Momen Ramadhan biasanya dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga, seperti saat sahur dan berbuka bersama. Namun, bagi perantau yang jauh dari keluarga, Ramadhan terasa berbeda karena harus menjalani ibadah tanpa mereka.
Di Inggris, waktu puasa lebih panjang karena perbedaan zona waktu dan perubahan musim. Meskipun suasana Ramadhan di Inggris berbeda dengan di Indonesia, Erni masih bisa menjalani kegiatan seperti kajian Islam hingga berbuka bersama.
“Harus adaptasi jadwal dari musim dingin ke musim semi. Biasanya sekitar jam 8 atau 9 pagi itu baru subuh tapi sekarang lebih maju sekitar 4.15 atau 4.30,” katanya.
Saat siang, lanjut dia, jatuhnya akan terasa lebih panjang. Sehingga puasanya juga jauh lebih panjang. Hal yang sama terntu berpengaruh pada salat tarawihnya yang jam setengah 10 malam baru mulai
Hal lain, lanjut mahasiswa Anglia Ruskin University ini, Ramadhan di Inggris tak diwarnai dengan tradisi penjual takjil di sepanjang jalan.
“Di Indonesia ada yang tadarusan, orang yang bangunin sahur, tapi di sini tidak ada. Jadi adem ayem aja,” ungkapnya.
Dalam banyak hal, ia akhirnya banyak bergantung pada aplikasi di ponsel yang dibuat oleh masjid sentral terdekat. Aplikasi tersebut membantu Erni untuk memantau jadwal salat dan berbuka setiap harinya.
Beruntung pula, ada buka bersama yang diadakan oleh kedutaan dan perkumpulan pelajar Indonesia yang ada di Inggris.
“Bahkan di kampus saya selalu memfasilitasi buka bersama untuk mahasiswa muslim. Jadi semua makanan gratis tersedia,” jelasnya.
Tinggal di lingkungan yang mayoritas nonmuslim baginya merupakan momen untuk mensyiarkan agama Islam. Erni kerap kali mendapat pertanyaan dari temannya soal agama Islam, salah satunya ibadah puasa yang tengah ia jalankan. (hdl)