Jakarta (pilar.id) – Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai keliru dalam mengawal kasus korupsi lahan sawit yang menjerat PT Duta Palma.
Dimana pengusaha Surya Darmadi, didakwa penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan terkait adanya suap perizinan pelepasan kawasan hutan di Riau.
Hal tersebut diungkap Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (14/2/2023). Menurutnya, tuntutan tersebut mengabaikan UU Ciptaker atau Omnibus Law yang disusun untuk menangani aturan yang tumpang tindih.
“Ruh UU Ciptaker ini dibuat untuk mengatasi carut marut aturan sektoral yang saling tumpang tindih. Ini yang harus dipahami Kejagung,” ucapnya.
Dikatakan Hinca, menurut Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, disebutkan bahwa lahan usaha yang berada di kawasan hutan diberi waktu tiga tahun mulai 2020 hingga November 2023 untuk menyelesaikan perizinan pelepasan dan pelanggaran kawasan hutan serta dikenakan sanksi administratif.
“Jadi seharusnya diselesaikan dengan denda, karena berasal dari tumpang tindih aturan. Tetapi Kejagung malah dipidanakan,” paparnya.
Lebih lanjut, Hinca menjelaskan kasus Duta Palma apabila mengacu UU Ciptaker seharusnya diselesaikan dengan denda hingga November 2023.
“Setelah lebih dari itu, baru perusahaan sawit yang bersikeras tidak bayar denda boleh dipidanakan,” imbuhnya.
Tindakan Kejagung tersebut, lanjut Hinca disebut diving sebab mengambil keputusan yang berbeda dari UU Cipta Kerja yang dikhawatirkan tidak dianggap oleh Majelis Hakim sehingga meringankan tersangka.
“Ini diving tidak sekadar offside. Hukum tidak bisa di proyek. Kejagung harus menghormati rezim hukum administratif, ada pasal 110 A dan B. Tidak boleh langsung ultimum remedium,” tegasnya.
Nyatanya, lanjut Hinca kasus serupa juga terjadi pada lebih dari 1.000 kegiatan usaha sawit. Apabila penyelesaian kasus ditangani seperti PT Duta Palma tentu akan berimbas pada kacaunya perekonomian nasional. (riz/hdl)