Jakarta (pilar.id) – Ancaman resesi yang dinilai akan datang pada tahun 2023 nanti, dijadikan sebagai salah satu dasar Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Selain itu, Jokowi dalam konferensi persnya juga menyatakan bahwa diperlukan keputusan strategis dan cepat untuk memberikan kepastian kepada para investor untuk menanggulangi krisis global yang diperkirakan akan terjadi di 2023.
Namun, putusan tersebut, juga dinilai terlalu terburu-buru dan berusaha menerabas putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, Undang-Undang Cipta Kerja yang diuji ke MK telah dinyatakan inkonstitusional dan diberikan waktu selama dua tahun untuk melakukan perbaikan.
“Itu sebabnya MK memandang perlu memberi batas waktu bagi pembentuk UU (pemerintah dan DPR) melakukan perbaikan UU tentang Cipta Kerja selama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Nyatanya yang keluar malah Perppu,” tegas anggota Komisi V DPR RI, Toriq Hidayat di Jakarta, Senin (2/1/2023).
Lebih lanjut, Toriq juga menegaskan bahwa pemimpin negara tidak bisa secara serampangan menerbitkan Perppu tanpa alasan yang jelas dan terukur. Apalagi, objek Undang-Undang yang ingin diganti dengan Perppu saat ini telah mendapatkan putusan dari MK.
Undang-Undang Cipta Kerja yang telah mendapatkan putusan dari MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan diharuskan untuk direvisi dengan batas waktu selama dua tahun.
Undang-Undang ini, diterbitkan pada tahun 2020 lalu ini disebut sebagtai undang-undang omnibus karena merevisi lebih dari 70 undang-undang lainnya yang berkaitan dengan aturan bisnis, investasi, serta ketenagakerjaan di Indonesia.
Undang-undang ini disebut mendapat pujian dari para investor karena merampingkan aturan bisnis di Indonesia. Namun, di sisi lain, juga mendapatkan banyak kritikan dari masyarakat di dalam negeri.
Pasalnya, undang-undang ini dinilai mengikis perlindungan terhadap tenaga kerja dan meningkatkan risiko terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, undang-undang ini juga dinilai tidak memihak pada kondisi lingkungan karena berpotensi meningkatkan kegiatan ekspolitasi lingkungan di Indonesia.
Di sisi lain, terkait dengan penerbitan Perppu Cita Kerja, pakar hukum konstitusi, Bivitri Susanti menilai bahwa langkah Presiden Jokowi itu konyol dan tidak pantas.
Sebab, Perppu ini justru mempersingkat waktu debat di parlemen dan menerabas proses pembentukan undang-undang yang pasti, baku, dan standar.
“Semua orang bisa melihat tidak ada keadaan darurat. Ini waktu liburan. Peraturan darurat ini benar-benar fait accompli dari Presiden,” tegas Bivitri. (fat)